Penghapusan Subsidi BBM Tidak Perlu!
oleh : Kwik Kian Gie
KITA membaca dan mendengar bahwa semakin tinggi harga minyak di pasar internasional, semakin besar subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah.
Kita juga membaca bahwa karena harga minyak di pasar internasional meningkat terus secara tajam, asumsinya dalam APBN harus disesuaikan, yaitu dari 22 dollar AS per barrel menjadi 36 dollar AS per barrel. Selanjutnya dikatakan bahwa karena itu, jumlah subsidi membengkak dari Rp 14,5 triliun menjadi Rp 63 triliun, atau membengkak dengan jumlah Rp 48,5 triliun.
Yang membuat kening mengerut adalah lanjutan dari uraiannya yang mengatakan bahwa karena membengkaknya subsidi dengan angka yang demikian dahsyatnya itu, defisit APBN yang tadinya Rp 24,4 triliun meningkat menjadi Rp 26,3 triliun. Defisit meningkat dengan Rp 1,9 triliun (26,3-24,4).
Jadi, subsidi membengkak dengan angka Rp 48,5 triliun (63-14,5), tetapi defisitnya meningkat dengan Rp 1,9 triliun saja (26,3-24,4). Bagaimana mungkin? Ini hanya mungkin kalau subsidi tidak sama dengan pengeluaran uang. Kalau subsidi BBM yang meningkat dengan Rp 48,5 triliun mengakibatkan peningkatan defisit APBN yang hanya Rp 1,9 triliun, mengapa dikatakan bahwa APBN akan jebol sehingga pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpaksa harus menaikkan harga BBM?
Mari kita telaah masalahnya melalui tabel terlampir yang sangat disederhanakan. Gambaran yang akurat dan lengkap sangat rumit. Maksud tulisan ini hanyalah mendiskusikan apa yang dimaksud dengan kata subsidi dalam hal penyediaan BBM oleh Pertamina yang ditugasi oleh pemerintah.
Kita mengambil analogi dari istilah subsidi yang dipakai dalam konteks pemerintah memberikan subsidi kepada sekolah dan rumah sakit swasta. Di banyak negara pemberian subsidi oleh pemerintah kepada sekolah atau rumah sakit swasta yang bersifat nirlaba/nonprofit cukup lazim. Subsidi berarti sumbangan dalam bentuk uang tunai agar sekolah atau rumah sakit yang bersangkutan dapat menutup semua pengeluarannya yang lebih besar dari penerimaan.
Dalam hal BBM, lihat Tabel, subsidi tidak berarti uang keluar. Karena itu, istilah subsidi seharusnya diganti dengan istilah selisih antara harga internasional dengan harga yang ditetapkan/dipaksakan oleh pemerintah untuk diberlakukan kepada bangsanya sendiri.
Pemerintah Indonesia memberi penugasan kepada Pertamina untuk mengadakan/menyediakan BBM dengan harga konsumen yang ditentukan oleh pemerintah pula. Mengapa demikian? Karena Pertamina diberi hak monopoli oleh pemerintah untuk mengadakan BBM. Maka pasarnya berbentuk monopoli. Dalam pasar yang berbentuk monopoli, harga tidak ditentukan oleh mekanisme pasar pada titik perpaduan antara kurva permintaan dan kurva penawaran.
Berapa harga internasional untuk BBM? Kalau kita ambil harga 50 dollar AS per barrel dengan kurs 1 dollar AS sama dengan Rp 9.000, dan (seperti kita ketahui) maka harga 1 barrel minyak-atau setara dengan 180 liter-jatuhnya sebesar Rp 2.500 per liter.
Biaya pemrosesan ditambah dengan biaya transportasi kita ambil Rp 500 per liter. Harga BBM internasional menjadi Rp 3.000 per liter. Ini adalah perkiraan yang sangat kasar supaya kita mengetahui hal yang paling esensial dan masalah yang paling inti bisa terlihat.
Jadi, harga internasional untuk minyak mentah yang Rp 3.000 per liter dalam tabel adalah harga yang dibentuk oleh mekanisme pasar, yang merupakan perpaduan antara kurva permintaan dan kurva penawaran dari seluruh dunia, sepanjang minyak mentah itu diperdagangkan.
Volume yang diperdagangkan di pasar dunia hanya sekitar 30 persen dari volume minyak mentah yang diproduksi di seluruh dunia. Sisanya dari hulu sampai hilir dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan minyak, termasuk Pertamina dalam hal minyak Indonesia.
Kita bertanya apa relevansinya menyebut-nyebut harga internasional yang ditentukan oleh mekanisme pasar yang dianggap harga yang "sebenarnya". Ini bukan harga yang sebenarnya menurut teori pasar karena dua alasan. Pertama, karena bentuk pasarnya di Indonesia monopoli yang dikuasai oleh pemerintah sebagai pelaksana dari pemilik monopolinya, yaitu rakyat yang memiliki bumi, air, dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kedua, "harga yang sebenarnya" menurut mekanisme pasar terbentuk dalam pasar yang bentuknya perfect competition (persaingan sempurna).
Di Indonesia tidak ada kompetisi dalam hal penyediaan minyak, apalagi perfect competition. Maka, harga yang terbentuk dalam pasar yang bentuknya perfect competition di New York dengan volume perdagangan yang hanya 30 persen dari produksi minyak seluruhnya tidak relevan sama sekali buat rakyat Indonesia.
Yang lebih konyol lagi kalau dikatakan bahwa APBN jebol kalau harga BBM tidak dinaikkan, karena pemerintah tidak tahan menanggung subsidi yang demikian besarnya, yang disebabkan oleh membengkaknya harga minyak mentah internasional. (tabel)
Berapa pun harga internasional akan meningkat, pemerintah sebagai administrator rakyat tetap saja memperoleh surplus dari BBM. Jadi, walaupun BBM dijual dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga minyak internasional, selama masih di atas Rp 500 per liter, kelebihannya ini (dalam Tabel sebesar Rp 1.500 per liter) merupakan sumbangan dari BBM untuk dipakai membiayai pelayanan-pelayanan lain dari pemerintah kepada rakyatnya. Mengapa disebut APBN jebol karena harus memberi subsidi kepada pemakai BBM?
Kalau mau mempermasalahkan apakah harga jual bensin yang rata-rata (antara premium dan premix) Rp 2.000 per liter itu adil atau tidak, itu adalah urusan falsafah, urusan beleid, atau kebijakan. Bukan urusan merugi karena harus memberikan subsidi. Tidak ada subsidi. Sebaliknya, yang ada adalah surplus!
Pikiran kita dikacaukan oleh aliran pikiran fundamentalisme pasar. Kita berteriak-teriak APBN akan jebol karena mengira bahwa yang dinamakan subsidi BBM itu adalah real out of pocket money loss, padahal yang diartikan dengan subsidi adalah opportunity loss. Lihat Tabel. Kalau harga internasional melonjak sampai 100 dollar AS per barrel, kita tetap saja masih memperoleh surplus sebesar Rp 1.500 per liter.
Bagaimana dengan kondisi kita yang sudah menjadi importir neto minyak? Memang, tetapi volumenya tidak banyak. Untuk volume yang harus kita impor untuk menutup tekornya karena kebutuhan bangsa kita lebih besar sedikit dari total minyak produksi sendiri, kita memang harus membayar harga internasional sepenuhnya yang 50 dollar AS per barrel itu tadi. Akan tetapi, volumenya sangat sedikit.
Posisi kita sebagai importir neto juga tidak permanen, kadang-kadang masih sebagai eksportir neto juga. Lantas yang dibutuhkan untuk membayar volume impor neto itu dapat ditutup dengan mudah dari surplus yang Rp 1.500 per liter itu tadi. Apalagi kalau eksploitasi gas kita kebut, maka dengan hasil perolehan migas, lebih mudah lagi kita menutup bahan bakar minyak dan gas bumi yang kita butuhkan.
Jadi, adalah bohong sama sekali atau sangat tidak masuk akal bahwa kenaikan harga minyak di pasar internasional membuat keuangan Pemerintah RI jebol sehingga subsidi BBM harus dicabut. *
Kwik Kian Gie Menteri Perencana Pembangunan/Kepala Bappenas
0 Comments:
Post a Comment
<< Home