Wednesday, December 21, 2005

Perlunya Penghapusan Subsidi BBM

Jum`at, 22 Oktober 2004 10:36 WIB
Tanggapan atas tulisan Bapak Kwik Kian Gie

Sebagai pengamat permasalahan energi, saya sangat tergelitik membaca tulisan Bapak Kwik Kian Gie di harian Kompas tanggal 19 Oktober 2004, yang berjudul “Penghapusan Subsidi BBM Tidak Perlu!”. Untuk itu, khususnya kepada Bapak Kwik Kian Gie, perkenankan saya memberi tanggapan.

Subsidi BBM merupakan suatu persoalan mendasar dalam persoalan-persoalan keenergian di Indonesia. Pokok-pokok kebijakan energi yang ditetapkan pemerintah, khususnya dalam hal diversifikasi dan konservasi energi, tidak dapat berjalan akibat adanya subsidi BBM. Oleh karena itu, keberanian pemerintah dalam menggariskan penghapusan subsidi BBM merupakan angin segar bagi pengembangan sektor energi.

Dasar hukum penghapusan subsidi juga cukup kuat dan jelas, yaitu Undang Undang Propenas tahun 2000. Yang menyebutkan bahwa subsidi BBM ditargetkan berkurang secara bertahap hingga tahun 2004 subsidinya menjadi kurang dari 1% dari Produk Domestik Bruto. Demikian juga dalam Undang Undang Minyak dan Gas Bumi tahun 2001 disebutkan bahwa harga BBM diarahkan mengikuti harga keekonomiannya. Menurut saya, perdebatan mengenai perlu tidaknya penghapusan subsidi BBM merupakan suatu langkah mundur dan kontraproduktif terhadap sosialisasi penghapusan subsidi BBM.

Seperti kita ketahui, produksi minyak bumi Indonesia sejak tahun 1997 terus menurun, dengan penurunan rata-rata sekitar 5% per tahun. Pada tahun 1997 produksi minyak Indonesia sebesar rata-rata 1,58 juta barel per hari (1 barel = 159 liter), sedangkan pada tahun 2003 produksi rata-ratanya tinggal 1,13 juta bph (barel per hari).

Sangat ironis, di saat harga minyak dunia sedang meningkat, justru produksi minyak bumi Indonesia menurun. Kapasitas produksinya sudah mentok akibat tidak adanya investasi untuk menemukan cadangan baru atau investasi untuk meningkatkan teknologi pengangkatan minyak bumi. Bahkan pada bulan Mei 2004 diberitakan bahwa secara netto, Indonesia sudah merupakan negara pengimpor minyak bumi (net importer minyak bumi).

Apakah minyak bumi Indonesia sudah mulai habis? Tidak. Sumberdaya minyak bumi Indonesia masih cukup besar, yaitu 66 milyar barel, di mana sekitar 5 milyar barel di antaranya merupakan cadangan terbukti (Ditjen Migas, 2003). Yang diperlukan saat ini adalah iklim yang mendukung untuk mengusahakan minyak bumi agar dapat diproduksikan secara optimal.

Selama ini, Indonesia selain mengekspor minyak bumi juga mengimpor minyak bumi untuk kebutuhan kilang dalam negeri. Kilang dalam negeri pada saat ini berkapasitas 1 juta bph. Kapasitas ini tidak bertambah sejak tahun 1997. Untuk memenuhi kebutuhan minyak bumi bagi kilang domestik, sebagian minyak bumi berasal dari dalam negeri dan sebagian dari minyak bumi impor. Artinya, net importer minyak bumi (di luar impor BBM) akan terjadi bila produksi minyak bumi Indonesia kurang dari 1 juta bph.

Bila pada saat ini masih ada perdebatan sudah atau belum kah Indonesia menjadi net importer minyak bumi, maka kita tidak bisa mengelak bahwa secara total (minyak bumi dan BBM) Indonesia sudah menjadi net importer BBM sejak beberapa tahun terakhir. Kapasitas kilang minyak Indonesia tidak bertambah sejak tahun 1997, sedangkan pemakaian BBM terus meningkat. Pemakaian BBM pada tahun 2003 mencapai 60 juta KL (kilo liter) atau setara dengan 1 juta bph. Padahal, dari kapasitas kilang Indonesia sebesar 1 juta bph, BBM yang dapat diproduksikan hanya sekitar 0,8 juta bph dan sisanya merupakan produk non BBM (pelumas, LPG, bahan baku petrokimia, dan sebagainya). Jadi sekitar 20% dari BBM yang digunakan di dalam negeri berasal dari impor.

Jika sektor minyak bumi dan sektor BBM digabung, Indonesia defisit 12 juta KL (20% kali 60 juta KL). Untuk menutup defisit ini, paling tidak produksi minyak bumi Indonesia harus ditingkatkan menjadi 1,25 juta bph. Sementara itu, permintaan BBM akan masih terus tumbuh. Apalagi jika harga BBM tetap relatif lebih murah dari energi alternatifnya, sehingga penggunaan BBM secara besar-besaran tidak dapat dihindarkan.

Di sini lah letak masalahnya. Di saat harga minyak bumi dunia mencapai 50 dolar per barel, harga minyak tanah di dalam negeri adalah Rp 1.000 per liter (harga di titik penjualan Pertamina adalah Rp 700 per liter) dan harga minyak solar Rp 1.650 per liter. Padahal dengan kurs Rp 9.000/dolar, harga minyak mentahnya saja sudah Rp 2.850 per liter. Belum lagi ditambah biaya pengolahannya di kilang dan biaya transportasinya ke konsumen. Harga BBM sesungguhnya (tanpa subsidi) di konsumen rata-rata bisa mencapai Rp 3.000 per liter (biaya produksi untuk semua jenis BBM relatif sama).

Pada masa lalu, kenaikan harga minyak bumi dunia merupakan berkah bagi APBN, yang biasa disebut sebagai windfall profit. Tetapi pada saat ini, di mana selisih antara ekspor-impor minyak bumi semakin tipis dan di sisi lain subsidi harga BBM semakin besar, kenaikan harga minyak dunia justru akan berakibat menambah defisit APBN. Ini terlihat dari peningkatan defisit APBN 2004 sebesar Rp. 1,9 trilyun (dari sisi pengeluaran APBN: kenaikan subsidi BBM dari Rp 14,5 trilyun menjadi Rp 63 trilyun; dari sisi pendapatan APBN terdapat kenaikan pendapatan yang antara lain disebabkan kenaikan harga minyak dunia).

Dilihat dari pengertian istilah subsidi BBM, selama ini istilah tersebut diartikan sebagai selisih antara biaya produksi BBM oleh Pertamina dengan harga jual yang ditetapkan pemerintah. Di mana harga BBM ditetapkan mengikuti harga internasionalnya dengan diberikan batas atas dan batas bawah harga. Kecuali minyak tanah untuk rumah tangga yang ditetapkan sebesar Rp. 700/liter di titik pasok Pertamina. Batas atas harga minyak yang menurut APBN adalah $ 24/barel, dan pada saat ini harga rata-rata minyak bumi dunia sebesar $ 35/barel.

Menurut UU Migas 2004, tugas Pertamina (yang saat ini telah menjadi PT. Pertamina) sebagai pemasok BBM satu-satunya di Indonesia mulai tahun 2005 akan berakhir. Sehingga setelah tahun 2005, akan banyak pelaku usaha selain Pertamina di sisi hilir migas, khususnya dalam usaha pengolahan, pengangkutan, penimbunan, dan penjualan BBM. Dengan demikian asumsi (seperti disampaikan Bapak Kwik Kian Gie) bahwa minyak bumi Indonesia harus diolah di Indonesia secara teknis akan sulit dilaksanakan.

Di sisi hulu migas, pangsa Pertamina dalam memproduksi minyak bumi hanya sekitar 5% dari total produksi minyak bumi Indonesia, 95% lainnya diproduksi oleh kontraktor migas. Jika diasumsikan biaya produksi adalah 20% dari harga minyak bumi dan bagian kontraktor atas keuntungan (produksi – biaya) adalah 85%, maka pasokan minyak bumi domestik (produksi dikurangi biaya-biaya dan upah kontraktor) adalah 69% dari total produksi. Pada tabel berikut diperlihatkan hitungan ini, bila dianggap produksi minyak bumi total adalah 100 unit.

Seperti telah disebutkan di atas, Indonesia saat ini secara total (minyak bumi dan BBM) telah menjadi net importer. Sebagai ilustrasi, kita asumsikan posisi Indonesia adalah bukan importer dan bukan eksporter (artinya volume produksi sama dengan konsumsi). Dari produksi total 100 unit, 31 unit merupakan biaya dan hanya 69 yang dapat dipasok untuk memenuhi kebutuhan domestik. Sehingga perlu 31 unit minyak bumi impor.

Bapak Kwik mengatakan untuk minyak bumi domestik rakyat hanya perlu membayar BBM Rp. 500/liter, sebagai ongkos kilang dan transportasi BBM. Baik, asumsi ini akan kita gunakan. Tapi bagaimana dengan bagian minyak bumi impor? Tentu saja harus kita bayar sesuai harganya, kita asumsikan saja dengan angka yang sangat moderat sebesar Rp. 2.500/liter. Sehingga kita peroleh rata-rata tertimbangnya adalah Rp. 1.128/liter.

Harga BBM Rp. 500/liter seperti dinyatakan pak Kwik menganggap harga minyak bumi domestik adalah Rp. 0/liter. Bila kita taruh suatu harga tertentu (yang lebih dari nol), tentu saja harga rata-rata tertimbangnya lebih dari Rp. 1.128/liter. Harga BBM tertimbang riil yang terjadi saat ini adalah Rp. 1.450/liter. Pada tingkat harga ini, berarti harga minyak bumi domestik kita hargai Rp. 500/liter. Bila kita pakai asumsi harga BBM yang sesuai harga keekonomiannya adalah Rp. 2.500/liter, maka subsidi BBM per liternya adalah Rp. 1.050 (konsumsi kita sekitar 60 KL, jadi total subsidi BBM adalah Rp. 60-an trilyun).

Dengan ilustrasi di atas dapat dilihat bahwa harga minyak bumi internasional jelas akan mempengaruhi harga BBM domestik. Terutama karena kita tidak bisa lagi swasembada minyak bumi.

Saya rasa, hal ini merupakan salah satu alasan kuat mengapa perlu ada kebijakan penghapusan subsidi BBM. Di samping berbagai alasan lain yang tak kalah kuatnya, seperti penyalahgunaan BBM (pemborosan, pengoplosan dan penyelundupan), subsidi salah sasaran, serta tidak berkembangnya pemanfaatan energi selain minyak bumi.

Penulis:
Oetomo Tri Winarno
Pengamat Permasalahan Energi

0 Comments:

Post a Comment

<< Home