Wednesday, December 21, 2005

Subsidi BBM?... ah bosen dengernya...

oleh: Awang Riyadi

Sejak beberapa tahun terakhir, mungkin lebih tepat sejak krisis ekonomi melanda Indonesia. sejak IMF menjadi dokter yang diakui sendiri telah salah mendiagnosa penyakit negara ini. sejak saat itu.... isu masalah subsidi menjadi ramai dibicarakan. Yang terbaru adalah tentang "subsidi" BBM yang akan saya coba bahas sedikit sekaligus menanggapi tulisan i baridwan di mailist esdm.

Subsidi yang bukan Subsidi
Sebelum jauh melangkah kita sebaiknya sepakat dengan definisi subsidi terlebih dahulu. Pengertian sederhana yang dimaksud subsidi adalah tanggungan selisih negatif dari harga jual dikurangi harga produksi. Jadi kalo kita buat pecel menghabiskan biaya total 1000 rupiah kemudian kita menjual dengan harga 700 rupiah, berarti kita mensubsidi produk pecel tadi sebanyak 300 rupiah per unitnya.

Mari kita lihat dalam kasus "subsidi BBM" di Indonesia. Benarkah pemerintah sebagai penentu harga jual BBM memberikan subsidi? Setahu saya sampai saat ini masih belum ada transparansi besaran HPP (harga pokok produksi) BBM dari pertamina sebagai pemegang hak monopoli penyediaan BBM. Bahkan seorang kepala BAPPENAS (sekarang sudah mantan yaitu Kwik Kian Gie) kesulitan mendapatkan besaran yang sesungguhnya. Dengan demikian tidak bisa kita mengatakan bahwa pemerintah mensubsidi harga BBM karena biaya produksinya-pun tidak diketahui, bagaimana mungkin bisa dibandingkan dengan harga jualnya?

Ternyata yang selama ini disebut sebagai "subsidi BBM" adalah selisih hitungan dalam APBN antara pos "Penerimaan BBM" yang dihitung dengan cara mengalikan harga minyak di pasar internaional dengan kuantitas -yang sebenarnya tidak pernah diterima oleh pemerintah- dengan harga yang berlaku di Indonesia (yang lebih rendah) yang ditetapkan oleh pemerintah kali kuantitas. Karenanya, untuk membuatnya balance dimunculkan pos pengeluaran yang bernama "SUBSIDI BBM".

Ibarat pecel tadi. Anggaplah ibu kita buat pecel dan kalo dijual di pasar bisa laku 3000. Tetapi karena dimakan sendiri kita kasih ke ibu uang belanja untuk membuat pecel sebesar 2000. Nah selisih sebesar 1000 inilah yang kalo dianalogikan dengan BBM dapat disebut sebagai "Subsidi Pecel" yang harus ditanggung ibu. Subsidi ini hanya berupa opportunity cost bukan cash out. Kalo dijual di pasar ibu dapat duit lebih banyak daripada dimakan sendiri dan ibu sama sekali tidak mengeluarkan uang 1000 untuk mensubsidi kita. Hanya saja pendapatan ibu menjadi berkurang dibanding kalo dijual di pasar. Begitulah kira-kira gambaran "Subsidi BBM" yang terjadi di Indonesia. Sebuah kerancuan... Subsidi yang bukan Subsidi.

Ok lah, sekarang coba kita hitung2an sederhana. Meniru hitungannya Kwik, anggaplah harga minyak dunia 50$ per barrel (159 liter). Menurut beberapa sumber, biaya pengangkatan minyak (x), biaya pengolahan BBM (y) dan biaya distribusi (z) total sekitar 10$ - 12$. Anggaplah x+y+z = 12$; 1$ = Rp 10.000; maka untuk menghasilkan BBM per liter dibutuhkan biaya (1 barrel minyak mentah menghasilkan sekitar 180 liter BBM karena proses cracking) sebesar Rp. 120.000/180 = Rp.667. Bensin di dalam negeri (sebelum naik) dijual seharga Rp 2.400,-, jadi untuk menghasilkan 1 liter bensin di Indonesia pemerintah mendapatkan cash Rp 2.400 - Rp 667 = Rp 1.733,- . Harga BBM di luar negeri dapat kita hitung (50xRp 10.000)/180 + Rp 667 = Rp 3.445,-. Jadi untuk setiap liter bensin yang dijual untuk kepentingan masyarak Indonesia sendiri, pemerintah kehilangan kesempatan mendapatkan cash Rp 3.445 - Rp 1.733 = Rp 1.712. Sama sekali pemerintah tidak rugi dengan menjual bensin seharga Rp 2.400 yang berarti tidak ada subsidi!!!

*

0 Comments:

Post a Comment

<< Home