Sunday, January 22, 2006

Perkebunan Energi di Lahan Kritis

Bangka Pos 7 Januari 2006

oleh: Erick Hutrindo

PROVINSI Kepulauan Bangka Belitung memiliki persentase lahan rusak (kondisi sangat kritis dan kritis) yang relatif besar, yaitu sekitar 1.053.253,19 Ha atau mencapai 64,12 persen dari luas daratannya (Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi Babel, 2004).

Dari angka tersebut, 810.059,87 (76,91 persen) berada di Pulau Bangka dan sisanya di Pulau Belitung. Sebagian besar lahan-lahan ini merupakan lahan bekas kegiatan penambangan timah, baik yang dikelola oleh PT Timah, PT Koba Tin maupun oleh masyarakat dengan tambang inkonvensionalnya dan mendesak untuk segera direklamasi.
Di sisi lain krisis energi di Indonesia bukanlah lagi menjadi suatu wacana, tapi merupakan fakta yang terasa sangat memberatkan bagi seluruh komponen masyarakat. Kita tidak lagi dapat bergantung pada energi fosil, pengembangan energi berbasis biomassa atau yang dikenal sebagai bioenergi menjadi penting untuk menjaga kesinambungan dan menjamin ketersediaan energi di masa datang.

Melalui artikel ini, penulis mencoba memberikan wawasan lain yang mungkin bisa menjadi solusi bagi usaha mereklamasi lahan kritis dari persfektif peluang pengembangan energi alternatif di Indonesia.

Perkebunan Energi
Perkebunan energi (energy plantation) merupakan istilah yang digunakan penulis untuk menggambarkan suatu areal perkebunan yang ditanami oleh tanaman-tanaman yang akan diolah/diproses menjadi energi khususnya energi dalam bentuk bahan bakar minyak (BBM). Saat ini ada dua jenis BBM berbasis biomassa yang teknologi pemrosesannya telah dikuasai oleh Bangsa Indonesia dan hasilnya telah sukses diuji coba, yaitu: biodisel dan bioetanol.

Biodisel adalah pilihan alternatif pengganti minyak disel atau solar yang terbentuk melalui reaksi transesterifikasi, yaitu reaksi antara senyawa ester (minyak nabati/ CPO) dengan senyawa alkohol (metanol). Pemakaian biodisel pada kendaraan bermesin disel dapat dipergunakan secara langsung atau dicampurkan dengan solar tanpa harus memodifikasi mesin.

Uji coba yang dilakukan oleh BPPT menunjukan bahwa campuran efektif 5รป30 persen biodisel per liter solar menghasilkan sistem pembakaran yang lebih sempurna, selain itu campuran juga mampu memberikan efek pelumasan pada mesin.
Sementara bioetanol adalah senyawa pengganti bensin yang terbentuk melalui proses fermentasi. Gasohol yang merupakan campuran 10 persen bioetanol dengan bensin menunjukan karakteristik yang hampir sama dengan bensin pertamax. Bahkan hasil uji coba gasohol pada kendaran bermesin bensin menunjukan kualitas emisi gas hasil pembakarannya menjadi 30-40 persen lebih baik.

Namun bioetanol hanya memiliki dua-pertiga energi bensin, karena itu penggunaan bioetanol murni pada kendaraan bermesin bensin akan menimbulkan masalah. Hal ini dapat diatasi dengan mengubah desain mesin dan reformulasi komposisi bahan bakar.

Biodisel
Ketersediaan biodisel dapat diolah dari berbagai jenis tanaman yang mengandung minyak, diantaranya: kelapa sawit, tengkawang, kelapa, kapuk, jarak pagar, rambutan, sirsak, malapari dan nyamplung. Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan, dari beberapa jenis tanaman tersebut ada dua jenis tanaman yang potensial dikembangkan kerena karakteristik yang dimilikinya.

Yang pertama adalah kelapa sawit (Elaeis Guineensis Jack) yang merupakan jenis tumbuhan monokotil, dimana kandungan sabutnya (mesocarps) berakumulasi minyak. Pabrik-pabrik biodisel skala komersial yang sekarang sudah beroperasi di tanah air menggunakan CPO dari kelapa sawit sebagai bahan bakunya.

Faktor ketersediaan menjadi alasan utama kenapa digunakannya CPO. Satu hektar perkebunan sawit dapat menghasilkan sekitar 3,6 kilo liter biodisel pertahun. Angka ini di luar jumlah CPO parit yang merupakan limbah dalam proses pembuatan CPO namun masih dapat diolah menjadi biodisel.

Pengembangan perkebunan sawit untuk substitusi bahan bakar fosil (solar) juga memberikan keuntungan lain. Sebagai negara yang ikut meratifikasi Protokol Kyoto, mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM) memungkinkan kita untuk bisa mendapatkan pemasukan melalui claim terhadap jumlah CO2 yang dapat diserap oleh perkebunan sawit.

Satu hektar lahan dapat menghasikan sekitar 36 ton/tahun biomassa berupa batang, pelepah, dan tandan sawit. Jumlah ini mampu menyerap pencemar udara CO2 sebanyak 25 ton/tahun, kemudian mengubahnya menjadi udara bersih O2 sebanyak 18 ton/tahun. Di Bangka Belitung kelapa sawit bukanlah komiditi perkebunan yang asing. Bahkan tumbuhan ini telah menjadi komoditas perkebunan unggulan di luar lada dan karet.

Pengembangan perkebunan sawit di atas lahan bekas penambangan yang memiliki kondisi topografi lembah yang tergenang air dan berpasir tentu membutuhkan tahapan persiapan lahan (land preparation) secara khusus. Untuk lahan jenis ini, mungkin investor harus mengeluarkan dana lebih besar pada saat tahap persiapan lahan apabila dibandingkan dengan membuka hutan.

Namun dana ini seharusnya dapat dikompensasikan dari dana reklamasi yang dibebankan ke pemegang kuasa pertambangan (KP).
Jenis tumbuhan kedua yang potensial untuk dikembangkan adalah jarak pagar (Jathropa curcas linneaus). Tanaman ini tergolong tanaman yang nakal karena dapat dengan mudah beradaptasi pada berbagai cuaca dan tidak membutuhkan banyak air serta pupuk.

Usia panen tanaman ini adalah enam hingga delapan bulan, namun hasil buah yang optimal baru dapat dinikmati pada usia lima tahun.
Bagian yang diambil dari jarak pagar adalah biji dan kulit (karnel) buahnya, dengan kandungan minyak masing-masing sebesar 33 persen dan 50 persen. Setiap satu hektar lahan dapat ditanami dengan 2.500 jarak pagar dan diperkirakan mampu menghasilkan biodisel sekitar 1,7 kilo liter biodisel pertahun.

Rekayasa bioteknologi memungkinkan kita untuk menghasilkan bibit jarak pagar yang memiliki kemampuan menyerap unsur hara, terutama fosfor dan nitrogen serta mikronutrien (Zn, Mo, Fe dan Cu) lebih baik. Selain itu, bibit tanaman tersebut akan memiliki peningkatan ketahanan terhadap kekeringan, serangan patogen akar dan meningkat produktivitasnya.

Melihat pada karakteristiknya di atas, maka untuk kondisi lahan kritis bekas penambangan di Bangka Belitung, perkebunan jarak pagar tampak lebih prospektif untuk dikembangkan.

Sementara ini, baru propinsi NTB dan NTT saja yang mengembangkan perkebunan jarak pagar dalam skala besar. Namun beberapa waktu yang lalu penulis juga sempat membaca bahwa Belitung ingin mereklamasi lahan bekas kegiatan penambangannya dengan tumbuhan ini.

Bioetanol
Tumbuhan yang potensial untuk menghasilkan bioetanol adalah tanaman yang memiliki kadar karbohidrat tinggi, seperti: tebu, nira, sorgum, ubi kayu, garut, ubi jalar, sagu, jagung, jerami, bonggol jagung, dan kayu. Banyaknya variasi tumbuhan yang tersedia memungkinkan kita lebih leluasa memilih jenis yang sesuai dengan kondisi tanah yang ada.

Sebagai contoh ubi kayu dapat tumbuh di tanah yang kurang subur, memiliki daya tahan yang tinggi terhadap penyakit dan dapat diatur waktu panennya. Namun kadar patinya yang hanya 30 persen, masih lebih rendah dibandingkan dengan jagung (70 persen) dan tebu (55 persen) sehingga bioetanol yang dihasilkan jumlahnya pun lebih sedikit.

Biaya produksi bioetanol tergolong murah karena sumber bahan bakunya merupakan limbah pertanian atau produk pertanian yang nilai ekonomisnya rendah serta berasal dari hasil pertanian budidaya tanaman pekarangan (hortikultura) yang dapat diambil dengan mudah. Dilihat dari proses produksinya juga relatif sederhana dan murah.

Prospek Pengembangan
Petunjuk pelaksanaan pengembangan energi alternatif secara detail sudah diatur dalam dokumen Pengelolaan Energi Nasional (PEN). Didalamnya disebutkan mengenai rencana (roadmap) pengembangan seluruh jenis energi alternatif. Dalam waktu dekat, pemerintah juga akan menerbitkan Inpres tentang biofuel (biodisel dan bioetanol) yang akan merinci insentif bagi pengembangan biofuel, termasuk instruksi kepada menteri-menteri untuk menindaklanjuti di departemen masing-masing.

Pengembangan perkebunan energi akan memberikan dampak bagi penghematan sumber energi tak terbarukan, meningkatkan ketahanan energi nasional dan berkurangnya biaya kesehatan akibat pencemaran udara serta akan membuka peluang usaha bagi masyarakat, di samping tujuan utamanya untuk mereklamasi lahan kritis yang ada.
Untuk menjaga keseimbangan lingkungan (bioferacy), variasi komposisi jenis tanaman sangat dimungkinkan. Namun tetap harus diperhatikan jenis tanaman yang akan dipilih, sehingga diharapkan mampu mengangkat harkat plasma nutfah dari endemik Babel ke taraf yang lebih tinggi.

Dengan diterbitkannya tujuh izin investasi pembangunan pabrik energi alternatif (biodiesel dan bioetanol) oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada pertengahan tahun 2005 yang lalu, memperkuat indikasi bahwa peluang bisnis di bidang bioenergi sudah dilirik para investor, sehingga pengembangan perkebunan energi menjadi sesuatu yang prospektif di masa depan. (*)

Erick Hutrindo: Staff Pusdiklat Kelistrikan dan Energi Baru Terbarukan

0 Comments:

Post a Comment

<< Home