Monday, January 23, 2006

Negeri Mati Suri

Kompas Sabtu, 21 Januari 2006

Herry Tjahjono


Korban SUTET yang menjahit mulut dan mogok makan secara moral sama dengan korban kehidupan (rakyat) lain yang tertimpa; penggusuran, busung lapar, pengangguran, dan bencana alam.

Secara moral (psikologis), mereka adalah korban dari negara yang tak memenuhi kewajiban terhadap rakyatnya, yaitu memberi ”hak hidup” rakyatnya. Konkretnya, hak hidup berupa pemenuhan basic needs (sandang, pangan, papan) kehidupan. Di zaman modern, pengertian basic needs sudah berkembang.

Perilaku korban SUTET merupakan salah satu puncak simbolisasi psikologis korban lain, untuk merefleksikan frustrasi mereka terhadap pemerintahan.

Secara sederhana, teori frustrasi menyebutkan, kondisi frustrasi terjadi saat keinginan, kebutuhan, dan harapan terbentur ”tembok penghalang” (barrier).

Frustrasi menimbulkan ketidakenakan, ketidaknyamanan, ketegangan dalam kehidupan. Untuk itu, biasanya manusia yang frustrasi melakukan berbagai reaksi pertahanan diri (self defense mechanism) guna menetralisir atau me-release-nya.

Misalnya, melakukan kompensasi, proyeksi, dan lainnya, yang secara kontekstual bisa disebut proses katarsis, melepas ketidaknyamanan dan ketegangan.

Titik kulminasi

Tampaknya, akibat frustrasi berkadar luar biasa, para korban SUTET tidak lagi melakukan katarsis, tetapi kastrasi diri (pengebirian diri) berbentuk jahit mulut dan mogok makan.

Jahit mulut, artinya mereka sudah lelah, semua pintu katarsis ditutup dan menuju puncak berupa mogok makan, siap mati, sebuah titik kulminasi pengebirian diri, ”pengebirian kehidupan (nyawa)” !

Meski mungkin cuma dalam hati, secara verbal seolah mereka ingin meneriakkan—jika para pemimpin pemerintahan dan negeri ini sudah tak mampu memberi ”hak hidup” paling dasar bagi rakyat—biarlah kami sendiri yang mengebirinya, mencabutnya, membunuhnya.

Kastrasi itu sudah merupakan mekanisme pertahanan diri radikal, saking putus asa dan frustrasinya. Refleksinya; 1) sekali lagi, pemerintah dan negara telah gagal secara moral (psikologis) untuk memenuhi tugas dan kewajibannya; 2) meski bersifat simbolis (mewakili para korban yang tak mendapatkan ”hak hidup” lainnya). Kastrasi korban SUTET sebenarnya representasi dari penderitaan kehidupan mayoritas rakyat negeri ini; 3) SBY (dan JK), tak punya pilihan lain, melaksanakan kepemimpinannya secara radikal juga, untuk menghancurkan berbagai ”tembok penghalang” yang membuat rakyat frustrasi.

Radikal, dalam konteks ini mempunyai dua elemen sikap; 1) esensial (mendasar), bukan hanya sekadar sensasional (permukaan, gejala); 2) cepat (tidak mengambang, kompromistis, bertele-tele, penuh nuansa ”barter politik”, dan seterusnya).

Ingat, di zaman ini, selain prasyarat survival of the fittest juga diperlukan survival of the fastest, terlebih dalam menggempur berbagai ”tembok penghalang” yang juga demikian cepat menggurita, kian kokoh dan tinggi.

Konsekuensi dari dua elemen sikap adalah kemungkinan untuk kehilangan popularitas dan dukungan kalangan elite bangsa, yang notabene berarti kemungkinan kehilangan peluang secara politis (dan ekonomis) dalam konteks strategi politik dan kekuasaan.

Bagaimanapun, sesuai rumus politik sebagai the art of possible, kondisi ini bisa saja merugikan SBY dalam arena perebutan kekuasaan periode mendatang. Namun, bagi SBY khususnya, semua ini masih jauh lebih baik dibanding kemungkinan hilangnya peluang untuk dikenang sebagai seorang ”pemimpin besar” bangsa dan bukan sekadar politisi yang kebetulan jadi presiden. Kenangan sebagai pemimpin besar hanya bisa didapat dari rakyat yang kini melakukan proses kastrasi diri, bukan para elite.

Semoga tulisan ini mampu memperkuat berbagai pendapat atau wacana yang telah mencoba memotivasi dan meng-encourage SBY untuk merevitalisasi kepemimpinannya sesegera dan seradikal mungkin. Jika tidak, di tengah hamparan rakyat (korban) yang terus melakukan proses kastrasi diri ”sampai mati”, pemerintah dan negara yang telah gagal secara moral (psikologis), sebenarnya telah mulai mengalami deligitimasi secara moral (politis). Kata parodi yang tepat, negeri ini mulai mati suri.

Herry Tjahjono Corporate HR Director & Corporate Culture Therapist, Jakarta

0 Comments:

Post a Comment

<< Home