Tuesday, March 28, 2006

Blok Cepu, Mission Accomplished! Really????

Pengantar:
Tuslisan2 berikut adalah pro kontra mengenai blok Cepu. tulisan pertama diawali oleh Tim perunding Pemerintah yaitu Rizal Mallarangeng. semoga tulisan ini dapat memperkaya wawasan kita.


-------------------------------------------------------------------
Tulisan satu:
Blok Cepu, Mission Accomplished
Oleh Rizal Mallarangeng


Kesepakatan Blok Cepu adalah sebuah prestasi tersendiri dalam sejarah perminyakan Indonesia. Seharusnya kita merayakan keberhasilan itu dan kemudian memikirkan bagaimana potensi penghasilan tambahan yang cukup besar bagi negara dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.

Sayangnya, sudah menjadi kebiasaan kita belakangan ini untuk melihat sisi negatif dari semua hal dan membesar-besarkan kemungkinan buruk yang bisa terjadi di masa depan. Kita menjadi bangsa yang pesimistis, perengek sekaligus cerewet, dengan horizon yang tak lebih jauh dari apa yang tampak di depan hidung.

Itulah kesan yang saya peroleh dari kalangan yang menentang kesepakatan Blok Cepu. Sebagian bahkan memakai argumen-argumen nasionalisme yang sudah usang, dan mengajak kita untuk kembali lagi ke suasana tahun 1950an dan 1960an. Sebagian lagi, seperti Kwik Kian Gie, bahkan pernah berkata bahwa kita harus menunjuk Pertamina sebagai operator Blok Cepu, berapa pun ongkosnya, seolah-olah dengan begitu kita berada dalam dunia hitam-putih,dimana yang satu adalah simbol segala kebaikan dan sikap pro-rakyat,sementara yang satunya lagi merupakan simbol segala keburukan dan anti-rakyat. Perusahaan asing pasti merugikan kita, sementara perusahaan negara pasti sebaliknya.

Kita hanya bisa mengurut dada terhadap argumen semacam itu. Zaman terus berubah dengan cepat, tetapi pikiran sebagian orang ternyata senantiasa berjalan di tempat. Prof. Clifford Geertz harus meneliti sekali lagi di Indonesia, dan menulis buku berjudul The Involution of Mind in Jakarta.

Agar tidak simpang siur berkepanjangan dan menghabiskan energi politik yang tidak perlu, saya ingin mengingatkan kita bahwa salah satu soal fundamental ekonomi Indonesia berhubungan dengan minyak bumi. Pada tahun 1970an dan pertengahan 1980an, harga minyak membubung tinggi dan kita bersorak kegirangan karena adanya bonanza minyak. Hasilnya, antara lain,adalah puluhan ribu SD inpres, puskesmas, jalan raya, dan tambahan ribuan guru.

Sejak dua tahun lalu harga minyak meroket lagi, bahkan mencapai rekor Di akhir tahun lalu. Tapi kita justru menjerit. No bonanza, only pain and desperation. Anggaran tercekik, subsidi harus dipangkas, beban hidup masyarakat bertambah.

Mengapa? Jawabnya sederhana. Pada zaman Pak Harto produksi minyak kita jauh berada di atas tingkat kebutuhan domestik. Pada 1977, misalnya,Indonesia memproduksi 1.6 juta bph (barel per hari), sementara kebutuhan domestik hanya sekitar 0.25 juta bph. Selisih seperti itulah yang kita nikmati dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi di zaman Orde Baru,terutama dari awal 1970an hingga pertengahan 1980an. Sekarang selisih demikian sudah menguap, malah kita sudah tekor. Kebutuhan domestik terus bertambah, sementara produksi minyak cenderung konstan, bahkan sejak 1998 terus mengalami penurunan.

Dalam posisi seperti ini, melambungnya harga minyak jelas bukan lagi rahmat, tetapi tohokan yang tepat di ulu hati. Kondisi seperti itulah yang menjadi latar belakang perundingan Blok Cepu, yang memicu pemerintah untuk segera menghidupkan kembali proses negosiasi yang telah terbengkalai selama lebih lima tahun. Jika dikelola dengan baik blok ini mampu memompa minyak dalam jumlah yang cukup fantastis untuk ukuran kita, yaitu sekitar 20 persen kapasitas produksi nasional. Dengan ini kita akan bisa kembali menjadi net exporter, dan menggunakan hasilnya demi kemakmuran rakyat.

Dari perhitungan kasar, nilai produksi yang dapat diperoleh dalam sepuluh tahun pertama bisa mencapai Rp 200-300 triliun, atau sekitar Rp 25 trilun per tahun. Berapa sekolah, rumah sakit dan fasilitas publik yang dapat dibangun dengan duit sebanyak itu setiap tahun? Karena itu, setiap pemerintahan yang bertanggung jawab harus mengupayakan agar perundingan ini sukses dan tidak bertele-tele. Jika gagal, kita harus menunggu lagi hingga 2010, yaitu berakhirnya masa kontrak Exxon, dan baru bisa menikmati hasil dari Blok Cepu paling cepat pada 2012, itu pun jika kita mampu memenangkan perkara ini di pengadilan arbitrase internasional.

Pada saat memulai negosiasi dengan pihak Exxon, Tim Negosiasi dihadapkan pada banyak persoalan. Tetapi dari semuanya, hanya tiga persoalan yang fundamental, yaitu participating interests (PI), pembagian hasil atau split (PH) dan operatorship. Dari ketiganya, dua faktor pertamalah yang paling berpengaruh terhadap jumlah dana yang diterima oleh negara atau pihak Indonesia, yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah dan Pertamina.

Perlu pula diketahui bahwa awal perundingan tidak bermula dari kertas kosong yang putih bersih. Sebelum Presiden SBY terpilih, telah ada kesepakatan awal dalam dokumen HoA (Head of Agreement) yang telah diparaf antara pihak Exxon dan Pertamina. Dalam dokumen ini telah diatur, antara lain, pembagian PI masing-masing pihak, yaitu Exxon 50 persen, Pertamina 50 persen, dan dengan PH 60:40. Dengan ini, jika produksi telah dimulai,pembagian hasil di ujungnya adalah pemerintah pusat 60 persen, Pertamina 20 persen (50% x 40), Exxon 20 persen. Artinya, pihak Indonesia akan memperoleh 80 persen perolehan di Blok Cepu dan sisanya buat Exxon (20 persen).

Tanggung jawab yang dibebankan kepada Tim Negosiasi adalah penyelesaian perundingan secepat-cepatnya dengan hasil yang maksimal buat negara. Karena itu harus dicari jalan agar hasil perundingan sekarang jauh lebih baik ketimbang hasil negosiasi sebelumnya sebagaimana yang tergambar dalam HoA di atas. Dan sebagaimana umumnya setiap proses negosiasi, yang terjadi adalah proses tawar-menawar, ulur-mengulur, bahkan gertak-menggertak.

Singkat kata, setelah proses negosiasi yang alot selama kurang lebih setahun, hasil perundingan ini sudah kita ketahui bersama. Dalam komposisi PI kini pemerintah daerah memperoleh 10 persen yang didapat secara proporsional dari Exxon dan Pertamina. Yang drastis adalah pada pola PH: sistem adjusted split diperkenalkan, di mana pihak Indonesia secara keseluruhan memperoleh hasil yang jauh lebih besar ketimbang sebelumnya,yaitu 93.25 persen pada harga minyak saat ini. Kalau toh harga minyak melorot ketingkat sangat rendah, katakanlah USD 30 per barel, kita masih menikmati porsi yang besar, yaitu 86.5 persen. Artinya, perolehan Exxon berhasil kita turunkan lumayan drastis, dari 20 persen menjadi 6.7-13.5 persen. Itu sebabnya seorang kawan saya yang ahli perminyakan berkata bahwa kesepakatan akhir Blok Cepu adalah salah satu deal terbaik yang pernah ada dalam dunia energi di Indonesia.

Tentu, setelah meraih sukses besar pada dua isu sekaligus (PI dan HP), kita tidak mungkin seenaknya menuntut dengan mutlak pada isu penting lainnya, yaitu operatorship. Kompromi harus dilakukan, sejauh masih dalam batas yang wajar dan mendukung tujuan besar kita untuk kembali menjadi net exporter dan menggunakan hasilnya demi kesejahteraan rakyat. Pemahaman seperti itulah yang pada akhirnya menelurkan konsep joint operatorship, yang membagi kewenangan operasi secara bertingkat, dengan perwakilan masing-masing pemilik PI secara proporsional dalam menentukan kebijakan besar di lapangan. Dalam prakteknya Exxon yang akan bertindak sebagai manager umum, namun dalam melakukan aktifitasnya harus menyertakan Pertamina.

Dengan semua itu, Pertamina memiliki peluang emas untuk meningkatkan kinerjanya. Perusahaan berplat merah ini akan memperoleh tambahan pendapatan yang besar perolehan buat Exxon persis sama dengan perolehan buat Pertamina) serta rekan kerja kelas dunia dengan kemampuan teknologi dan finansial yang sulit ditandingi oleh siapa pun saat ini (Exxon adalah perusahaan dunia terbesar). Singkatnya, Pertamina saat ini memperoleh momentum untuk tumbuh lebih baik dengan memanfaatkan peluang yang sekarang terbuka.

Jadi secara keseluruhan, sebagai seseorang yang pernah terlibat dalam Tim Negosiasi, saya merasa bangga bahwa pada akhirnya perundingan yang melelahkan itu dapat berakhir dengan baik dan memuaskan kita. Lima tahun lebih sumberdaya alam kita di Blok Cepu disandera oleh ketidakpastian dan kekaburan prioritas. Kini semua itu telah menjadi bagian masa lalu. Pada akhirnya kita bisa berkata bahwa kita masih memiliki akal sehat. Mission accomplished.

Kembali ke kalangan penentang yang saya singgung di atas tadi, terus-terang saya agak kesulitan dalam mengikuti alur berpikir mereka. Sebagian dari kalangan ini hanya melihat pada satu isu, yaitu operatorship, tanpa mau mengerti sedikit pun tentang konteks persoalan besar yang melibatkan isu-isu penting lainnya.

Sebagian lainnya hanya berkutat pada isu yang sebenarnya agak diputar-balikkan, yaitu cost-recovery. Seolah-olah dalam soal ini hanya pihak Exxon yang menentukan biaya operasi dan pasti akan terjadi kerugian negara dalam jumlah yang fantastis. Mereka tidak pernah mau mengerti bahwa soalnya tidak semudah itu: dalam mekanisme operasi Pertamina terlibat aktif serta dalam proses pengawasan biaya akan ada pemeriksaan yang berlapis-lapis.

Namun yang paling lantang terdengar adalah suara-suara nasionalisme sempit dengan sejumlah tuduhan miring, yang seolah membenarkan sebuah ungkapan dari Dr. Samuel Johnson, nationalism is the last refuge of scoundrels.

Terhadap semua itu, saya hanya bisa berkata bahwa Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar hanya dengan membuka diri, memanfaatkan kesempatan yang dibuka oleh zaman ini, serta secara kreatif belajar dari mereka yang sudah terlebih dahulu menjadi bangsa yang maju.

Masalahnya bukan terletak pada kebanggaan atau kepercayaan terhadap satu atau beberapa perusahaaan milik negara. Soalnya lebih terletak pada pilihan prioritas dan keberanian untuk memilih.

Lewat negosiasi Blok Cepu, pemerintah telah menetapkan dan memilih prioritas. Hasil yang diharapkan pada akhirnya adalah percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat. Jika ini terjadi, di situlah letak kebanggaan kita yang sesungguhnya sebagai sebuah bangsa.

Pertanyaanku (seorang teman di perusahaan minyak nasional) singkat saja, kenapa kok Exxon ngotot menginginkan posisi GM ya..... kalo gak jabatan itu punya peran besar bagi kelangsungan pengelolaan Blok Cepu. Sebetulnya tinggal sedikit lagi lho Pak Malarangeng untuk get the best accomplishment, GM-nya adalah BUMN Indonesia, seperti kasus Petronas untuk cadangan baru-nya.