Tuesday, April 04, 2006

Blok Cepu, Mission Accomplished! Really???? (2)

-----------------------------------------------------------------
Pengantar:
Tuslisan2 berikut adalah pro kontra mengenai blok Cepu. semoga tulisan ini dapat memperkaya wawasan kita.

[tulisan sebelumnya]
-------------------------------------------------------------------

Tulisan dua:
Surat Terbuka Buat Rizal Malarangeng
oleh: Rovicky Dwi Putrohari

Mas Rizal yang baik,

Selamat atas "kesuksesan" anda. (maaf masih dalam "tanda kutip" karena
saya terpaksa menganggap ini masih wacana pribadi anda yg menyatakan
sukses).

Sudah sejak awal (ketika dioperasikan HUMPUSS) saya melihat bahwa Cepu
ini sudah kontroversial. Awalnya kontrak daerah ini berupa sebuah
kontrak TAC (Technical Asiistant Contract), adalah kontrak yang pada
kontrak2 sejenis lainnya/sebelumnya isinya berupa bantuan dalam proses
produksi, bukan eksplorasi. Namun saya ndak tahu apa sebabnya
tiba-tiba HUMPUSS melakukan kegiatan eksplorasi. Pada waktu itupun
saya sebagai praktisi di Migas di Indonesia cukup bangga karena "ada"
perusahaan nasional yg "berani" melakukan eksplorasi. Walaupun "cara"
mendapatkan daerah konsesinya dengan fasilitas. Which is OK to me, lah
masih "anak-anak" kan wajar kalau dapet subsidi "uang jajan".

Namun perjalan sejarah berikutnya berubah lain lagi. Blok ini entah
bagaimana "berubah" menjadi PSC dan ini tentusaja mengundang
pertanyaan dan menjadi delik khusus, apakah bisa kontrak berubah. Dan
fenomena inipun dipertanyakan oleh salah satu BOD IPA (Indonesian
Petroleum Associacion).

Yang ingin saya garis bawahi adalah adanya "kejadian" perubahan
kontrak. Bisa jadi kontrak baru ini bagus (entah versi siapapun),
namun yg saya sayangkan sepertinya ada "pelanggaran" komitmen awal.
Dimana menurut saya komitmen awal harus diseleseikan dulu. Dan
sepertinya kelemahan org Indonesia ini adalah mempertahankan komitmen.
Dan anda tahu kan, bahwa komitmen daerah ini yg seharusnya berenti
tahun 2010. Namun saya heran kenapa anda menyatakan Indonesia akan
menikmati hasil setelah 2012 itupun "kalau memenangkan" arbitrase.
Bukankah kontrak TAC dengan humpus yg berubah ke PSC ini akan berakhir
dengan sendirinya tahun 2010 ? Dan perpanjangan kontrak bukanlah
sebuah "keharusan" ? Mengapa anda takut ada arbitrase ?

PSC (Production Sharing Contract) pada prinsipnya mirip BOT (Build
Operate and Transfer), mirip membangun jalan Tol. Artinya pada akhir
kontrak harus ditransfer dulu ke "host country", perkara nantinya
diperpanjang lagi itu tidak apa-apa, apalagi kalau menuntungkan kedua
belah pihak. Tetapi menganggap bahwa perpanjangan kontrak sebagai
sebuah keharusan yg bisa menuai badai arbitrase menurutku logika yang
"salah besar". Karena menyalahi ide dasar BOT diatas. Walopun ternyata
jalan Tol yg juga BOT-pun ndak dikembalikan juga ke negara ya :) ...
ok ini perkara lain.
Perpanjangan kontrak yg belum berakhir karena diburu-buru ini tidak
hanya Kontrak Cepu. Bahkan kontrak Freeport dulu juga diperpanjang
sebelum masa kontrak berakhir. Ini yang harus diperhatikan Mas Rizal.
Bahwa memperpanjang kontrak yg masih jauuuh akan berakhir seringkali
"menjebak". Jadi saran saya seleseikan dulu kontrak baru diperpanjang
setelah dikembalikan. Kan wajar to ?

Mas Rizal, saat ini saya bekerja di Kuala Lumpur, Malaysia. Dan saya
punya kesempatan banyak melihat bagaimana industri migas Malaysia
melalui Petronas-nya berkembang pesat. Sistem PSC mereka diadopsi dari
PSC Indonesia, namun modifikasi yg dilakukannya sangat canggih.
Silahkan mampir di blog saya ( rovicky.blogspot.com ), saya
menguraikan panjang lebar tentang perbandingan PSC Indonesia dan
Malaysia. Dimana salah satunya adalah Malaysia menjalankan PSC ya
persis sistem BOT. Yaitu semua kontrak PSC yg habis dikembalikan ke
Petronas dan dikelola sendiri oleh Petronas. Dan jangan kaget saat ini
ada 150 Geoscience dan Engineer Indonesia yg bekerja di Kuala Lumpur.
Hampir semua project Petronas pasti "dihiasi" oleh GGE Indonesia. Jadi
bukan hanya TKI pembantu dan buruh saja yg ada di Malaysia.

Nah ada tiga point yg ingin saya sampaikan mas Rizal.
- Bahwa ide BOT dijalankan dengan baik di Petronas sehingga Petronas
dapat "belajar" mengendalikan sendiri perminyakannya. Dan GGE
Indonesia telah kehilangan Cepu sebagai ladang belajar.
- GGE Indonesia ini sudah mampu mengelola lapangan minyak. Dan ini
justru diakui oleh Petronas namun justru tidak diakui di dalam negeri,
bahkan tidak diakui oleh pemerintahnya sendiri (paling tidak secara
tak langsung).
- PSC term tidak hanya masalah "fiskal". Split kadang kala tidak
berarti banyak dalam longterm production. Ketahuilah kita hanya sukses
menjalankan PSC generasi pertama saja. Dimana plateu production kita
ini hanya ertahan 20-30 tahun sejak PSC dicanangkan. Artinya hanya
satu kali periode kontrak PSC.


Nah kembali soal Cepu Blok. Saya tahun kemarin (2005) pernah membuat
seminar bersama teman-teman di Indonesia lewat IAGI-HAGI (Ikatan Ahli
Geologi Indonesia - Himpunan Ahli Geofisika Indonesia). Pada waktu itu
yg saya katakan hanyalah soal kemampuan orang Indonesia mengelola
Cepu. Mengapa saya berkonsentrasi disini karena rasa bangga dan diakui
mampu impaknya ternyata sangat besar. Memang tidak instant seperti yg
Mas Rizal katakan "untuk saat ini" yg mampu membuat sekolahan dan
puskesmas. Ungkapan ketidak mampuan Indonesia mengelola Cepu inilah yg
"menohok urat malu" teman-teman saya di HAGI dan IAGI. Sehinga mereka
merasa dipermalukan dengan ungkapan tidak mampu sebagai pengelola
lapangan minyak.

Barangkali bener kata anda bahwa mereka masih cerewet dan merengek2,
namun ya inilah kondisi bangsamu Mas Rizal. Anda barangkali sudah
berjalan terlalu maju kedepan. Namun pelajaran yg saya ambil dari
Malaysia justru sebaliknya dengan anda. Mereka (pemerintah Malysia)
saat ini sedang "melindungi" Mobil Nasionalnya Proton, dengan
menurunkan harganya sekitar 2-3 %. Hanya satu alasan logis yg saya
rasakan, untuk meningkatkan kebanggan rakyat menggunakan mobil
bikinannya dan sebagai Bangsa Malaysia. Nah anda yg dalam posisi
sebagai negosiator justru memposisikan bangsa sendiri dalam posisi
dibawah. Wah nyesel saya Mas Rizal ... maaf.

Ya, Saya saat ini juga tidak akan berkepanjangan memikirkan soal Cepu
ini lagi. Karena saya barusaja menemukan kembali "harta karun" negara
saya berupa cadangan geothermal yg cadangannya merupakan 40% cadangan
dunia, dan nilainya setara dengan 8 milyar BOE, bandingkan dengan cepu
yg hanya 500-700 juta barrel. Nah saya aprreciate kalau anda masih
ingin berkutet sebagai negosiator didalam sektor geothermal ini.
KArena energi geothermal ini hanya bisa diubah menjadi listrik
sehingga relatif "aman" tidak dijarah negara2 yg rakus energi.
Nah, Mas Rizal kalau memang anda bener mau sukses, tolong Energi
Geothermal ini "dikawal" lagi ya ...

Salam,

Rovicky Dwi Putrohari
Geologist Indonesia
Anggota : IAGI-HAGI-IPA