Wednesday, January 25, 2006

Harga Minyak dan Nuklir Iran

Tajuk Rencana Kompas, 25 Januari 2006

Harga minyak mentah internasional awal pekan ini sudah mendekati 70 dollar AS per barrel sebagai dampak psikologis atas kontroversi nuklir Iran.
Muncul kekhawatiran tentang kemungkinan harga mencapai 100 dollar AS jika PBB menjatuhkan sanksi kepada Iran. Perekonomian global akan terpukul hebat.
Harga saat ini saja yang mendekati 70 dollar AS sudah merepotkan berbagai negara, tidak terkecuali Indonesia. Dampaknya dirasakan sebagai beban bagi warga masyarakat, kalangan industri, dan dunia usaha.

Maka kesulitan akan meningkat jika harga minyak menyentuh angka 100 dollar AS per barrel. Kekhawatiran akan kenaikan harga BBM global muncul karena Amerika Serikat dan Uni Eropa bertekad membawa isu nuklir Iran ke Dewan Keamanan PBB atas tuduhan negara Persia itu mengembangkan program senjata nuklir.

Iran membantah tuduhan itu dan berkali-kali menegaskan hanya mengembangkan reaktor nuklir pembangkit listrik, tetapi Barat tetap menekan. Belum diketahui apa yang akan terjadi jika isu nuklir Iran dibawa ke DK PBB. Rusia dan China disebut-sebut akan menggunakan hak veto untuk mencegah sanksi kepada Iran.

Namun, pasar bereaksi negatif atas spekulasi tentang kemungkinan Iran dijatuhi sanksi. Sekiranya sanksi dijatuhkan, implikasinya tidaklah kecil karena Iran merupakan penghasil minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi di Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC).

Setiap hari Iran menghasilkan empat juta barrel, termasuk 2,5 juta barrel untuk kepentingan ekspor. Pengurangan atau penghentian ekspor BBM Iran dapat mengacaukan persediaan minyak di pasar global, yang memicu kenaikan harga.
Posisi Iran dalam perdagangan minyak global bertambah strategis karena mengontrol Selat Hormuz sebagai jalur vital pelayaran minyak, yang juga digunakan Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Bahrain.

Taruhannya memang tidak kecil jika Iran dijatuhi sanksi atas isu nuklir. Bukan hanya Iran kerepotan, tetapi juga masyarakat global. Perekonomian dunia akan terpukul. Ada yang berpendapat, sanksi kepada Iran tidaklah otomatis akan menaikkan harga BBM. Masih ada kemungkinan sejumlah negara melepaskan cadangan minyaknya untuk mengerem kenaikan harga.

Namun, faktor Iran sebagai salah satu penghasil minyak utama dunia tidak dapat dipandang enteng. Rencana pengurangan produksi BBM tahun 2006 ini saja sudah memberi sentimen negatif, yang memicu kenaikan harga BBM mendekati 70 dollar AS per barrel pekan ini.

Tuesday, January 24, 2006

Kenaikan TDL dan Pendekatan Dagang

Tajuk Suara Karya Kamis, 19 Januari 2006

Berhentilah berangan-angan mewujudkan kesejahteraan dalam keluarga Anda. Harga semua kebutuhan keluarga naik. Proses kenaikan harga beragam kebutuhan itu terlihat begitu cepat, berbanding terbalik dengan nilai tukar pendapatan keluarga yang statis, bahkan justru tengah disedot oleh laju inflasi yang sudah dua digit.

Dalam situasi seperti itu, Anda sama sekali tidak punya alasan logis untuk meneruskan angan-angan menyejahterakan keluarga. Artinya, totalitas pengorbanan Anda adalah mutlak. Anda memang punya hak untuk memberikan perlawanan terhadap apa yang disebut sebagai kebijakan kenaikan harga atau tarif itu, tetapi akan lebih baik jika realistis. Sebab, sesungguhnya Anda tidak berdaya. Jika dalam kasus tarif daftar listrik (TDL) Anda coba memberi perlawanan, jawaban yang akan diberikan kepada semua orang yang melawan paling-paling seperti ini: "Kalau nggak mampu bayar listrik, pakai saja lilin.'' Sebab, sebatang lilin jauh lebih murah dibanding penerang lain berbahan bakar minyak tanah.

Sebaliknya, terdapat begitu banyak alasan logis untuk meminta Anda berhenti berangan-angan. Renungkanlah; praktis tidak pernah ada sama sekali berita atau informasi yang bisa menyenangkan banyak orang, terutama para ibu rumah tangga yang mengelola uang belanja. Hari-hari ini, ketika masyarakat masih menggerutu karena harga beras naik, disusul kemudian dengan "menipiskan" stok beras di gudang-gudang Bulog, muncul lagi berita yang tidak mengenakkan telinga semua orang. Kali ini soal listrik.

Pemerintah berniat menaikkan tarif dasar listrik (TDL) 18,4 persen hingga 48,3 persen dari tarif yang berlaku sekarang. Keputusan pemberlakuan TDL baru akan diumumkan paling cepat 1 Februari dan selambat-lambatnya 1 April 2006. Proposal kenaikan TDL itu, pekan ini, sudah di meja kerja Menko Perekonomian Boediono.

Sama seperti ketika para ekonom pemerintah melakukan pendekatan dagang saat merumuskan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), pendekatan serupa juga dilakukan saat menyusun proposal kenaikan TDL. Kecenderungan serupa juga terbaca dengan jelas dalam kasus beras. Tidak ada good will untuk memberi kesempatan petani menikmati untung. Begitu harga beras pasokan petani naik, digagas impor beras guna menghilangkan peluang petani mendapat untung. Padahal, kalau cerdas, kenaikan harga beras petani bisa dibuat moderat, kalau Bulog memaksimalkan fungsi pengendalian harga dengan efektif. Fungsi itu tidak dimaksimalkan. Yang ditempuh lagi-lagi jalan pintas, pendekatan dagang

Cukup alasan bagi banyak orang untuk kecewa. Rakyat memilih para pemimpin karena percaya dan berharap kualitas kehidupan akan mengalami perubahan ke level yang lebih baik dari sebelumnya, karena filosofi "bersama kita bisa" mengatasi semua persoalan sebagaimana digemakan sang pemimpin ketika berkampanye. Ketika tiba giliran sang pemimpin untuk berkarya, pendekatannya sangat kontradiktif. Sebab, kepercayaan rakyat itu ditanggapi dengan pendekatan dagang untuk semua kebutuhan yang diproduksi oleh unit-unit usaha negara. Konyol kalau beranggapan segala sesuatu yang diproduksi unit-unit usaha negara sebagai milik pemerintah, dan jika butuh, rakyat harus bayar, berapapun harga yang ditetapkan.

Tujuan kenaikan TDL tak lain dari mengurangi tekanan defisit yang merongrong PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Makin besar defisit PLN, subsidi pemerintah makin besar. Maka, kalau mengikuti jalan pikiran dagang dari mereka yang menyusun proposal itu, kenaikan itu mestinya lebih cepat lebih baik bagi PLN, agar PLN-nya sendiri tidak bangkrut.

Alasan paling pokok dari proposal kenaikan TDL itu adalah mahalnya harga BBM. Biaya BBM untuk pembangkit PLN tahun 2006 diperkirakan Rp 51 triliun, sementara besaran subsidi APBN 2006 hanya Rp 15 triliun. PLN minta pemerintah memberi subsidi dalam bentuk pengurangan harga bahan bakar minyak, bukan subsidi tunai.

Lagi-lagi karena pendekatan dagang, permintaan PLN untuk mendapatkan harga BBM yang lebih murah tampaknya sulit diberikan, walaupun produk PLN menjadi salah satu kebutuhan seluruh rakyat di negara ini.***

Monday, January 23, 2006

Negeri Mati Suri

Kompas Sabtu, 21 Januari 2006

Herry Tjahjono


Korban SUTET yang menjahit mulut dan mogok makan secara moral sama dengan korban kehidupan (rakyat) lain yang tertimpa; penggusuran, busung lapar, pengangguran, dan bencana alam.

Secara moral (psikologis), mereka adalah korban dari negara yang tak memenuhi kewajiban terhadap rakyatnya, yaitu memberi ”hak hidup” rakyatnya. Konkretnya, hak hidup berupa pemenuhan basic needs (sandang, pangan, papan) kehidupan. Di zaman modern, pengertian basic needs sudah berkembang.

Perilaku korban SUTET merupakan salah satu puncak simbolisasi psikologis korban lain, untuk merefleksikan frustrasi mereka terhadap pemerintahan.

Secara sederhana, teori frustrasi menyebutkan, kondisi frustrasi terjadi saat keinginan, kebutuhan, dan harapan terbentur ”tembok penghalang” (barrier).

Frustrasi menimbulkan ketidakenakan, ketidaknyamanan, ketegangan dalam kehidupan. Untuk itu, biasanya manusia yang frustrasi melakukan berbagai reaksi pertahanan diri (self defense mechanism) guna menetralisir atau me-release-nya.

Misalnya, melakukan kompensasi, proyeksi, dan lainnya, yang secara kontekstual bisa disebut proses katarsis, melepas ketidaknyamanan dan ketegangan.

Titik kulminasi

Tampaknya, akibat frustrasi berkadar luar biasa, para korban SUTET tidak lagi melakukan katarsis, tetapi kastrasi diri (pengebirian diri) berbentuk jahit mulut dan mogok makan.

Jahit mulut, artinya mereka sudah lelah, semua pintu katarsis ditutup dan menuju puncak berupa mogok makan, siap mati, sebuah titik kulminasi pengebirian diri, ”pengebirian kehidupan (nyawa)” !

Meski mungkin cuma dalam hati, secara verbal seolah mereka ingin meneriakkan—jika para pemimpin pemerintahan dan negeri ini sudah tak mampu memberi ”hak hidup” paling dasar bagi rakyat—biarlah kami sendiri yang mengebirinya, mencabutnya, membunuhnya.

Kastrasi itu sudah merupakan mekanisme pertahanan diri radikal, saking putus asa dan frustrasinya. Refleksinya; 1) sekali lagi, pemerintah dan negara telah gagal secara moral (psikologis) untuk memenuhi tugas dan kewajibannya; 2) meski bersifat simbolis (mewakili para korban yang tak mendapatkan ”hak hidup” lainnya). Kastrasi korban SUTET sebenarnya representasi dari penderitaan kehidupan mayoritas rakyat negeri ini; 3) SBY (dan JK), tak punya pilihan lain, melaksanakan kepemimpinannya secara radikal juga, untuk menghancurkan berbagai ”tembok penghalang” yang membuat rakyat frustrasi.

Radikal, dalam konteks ini mempunyai dua elemen sikap; 1) esensial (mendasar), bukan hanya sekadar sensasional (permukaan, gejala); 2) cepat (tidak mengambang, kompromistis, bertele-tele, penuh nuansa ”barter politik”, dan seterusnya).

Ingat, di zaman ini, selain prasyarat survival of the fittest juga diperlukan survival of the fastest, terlebih dalam menggempur berbagai ”tembok penghalang” yang juga demikian cepat menggurita, kian kokoh dan tinggi.

Konsekuensi dari dua elemen sikap adalah kemungkinan untuk kehilangan popularitas dan dukungan kalangan elite bangsa, yang notabene berarti kemungkinan kehilangan peluang secara politis (dan ekonomis) dalam konteks strategi politik dan kekuasaan.

Bagaimanapun, sesuai rumus politik sebagai the art of possible, kondisi ini bisa saja merugikan SBY dalam arena perebutan kekuasaan periode mendatang. Namun, bagi SBY khususnya, semua ini masih jauh lebih baik dibanding kemungkinan hilangnya peluang untuk dikenang sebagai seorang ”pemimpin besar” bangsa dan bukan sekadar politisi yang kebetulan jadi presiden. Kenangan sebagai pemimpin besar hanya bisa didapat dari rakyat yang kini melakukan proses kastrasi diri, bukan para elite.

Semoga tulisan ini mampu memperkuat berbagai pendapat atau wacana yang telah mencoba memotivasi dan meng-encourage SBY untuk merevitalisasi kepemimpinannya sesegera dan seradikal mungkin. Jika tidak, di tengah hamparan rakyat (korban) yang terus melakukan proses kastrasi diri ”sampai mati”, pemerintah dan negara yang telah gagal secara moral (psikologis), sebenarnya telah mulai mengalami deligitimasi secara moral (politis). Kata parodi yang tepat, negeri ini mulai mati suri.

Herry Tjahjono Corporate HR Director & Corporate Culture Therapist, Jakarta

Sunday, January 22, 2006

Perkebunan Energi di Lahan Kritis

Bangka Pos 7 Januari 2006

oleh: Erick Hutrindo

PROVINSI Kepulauan Bangka Belitung memiliki persentase lahan rusak (kondisi sangat kritis dan kritis) yang relatif besar, yaitu sekitar 1.053.253,19 Ha atau mencapai 64,12 persen dari luas daratannya (Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi Babel, 2004).

Dari angka tersebut, 810.059,87 (76,91 persen) berada di Pulau Bangka dan sisanya di Pulau Belitung. Sebagian besar lahan-lahan ini merupakan lahan bekas kegiatan penambangan timah, baik yang dikelola oleh PT Timah, PT Koba Tin maupun oleh masyarakat dengan tambang inkonvensionalnya dan mendesak untuk segera direklamasi.
Di sisi lain krisis energi di Indonesia bukanlah lagi menjadi suatu wacana, tapi merupakan fakta yang terasa sangat memberatkan bagi seluruh komponen masyarakat. Kita tidak lagi dapat bergantung pada energi fosil, pengembangan energi berbasis biomassa atau yang dikenal sebagai bioenergi menjadi penting untuk menjaga kesinambungan dan menjamin ketersediaan energi di masa datang.

Melalui artikel ini, penulis mencoba memberikan wawasan lain yang mungkin bisa menjadi solusi bagi usaha mereklamasi lahan kritis dari persfektif peluang pengembangan energi alternatif di Indonesia.

Perkebunan Energi
Perkebunan energi (energy plantation) merupakan istilah yang digunakan penulis untuk menggambarkan suatu areal perkebunan yang ditanami oleh tanaman-tanaman yang akan diolah/diproses menjadi energi khususnya energi dalam bentuk bahan bakar minyak (BBM). Saat ini ada dua jenis BBM berbasis biomassa yang teknologi pemrosesannya telah dikuasai oleh Bangsa Indonesia dan hasilnya telah sukses diuji coba, yaitu: biodisel dan bioetanol.

Biodisel adalah pilihan alternatif pengganti minyak disel atau solar yang terbentuk melalui reaksi transesterifikasi, yaitu reaksi antara senyawa ester (minyak nabati/ CPO) dengan senyawa alkohol (metanol). Pemakaian biodisel pada kendaraan bermesin disel dapat dipergunakan secara langsung atau dicampurkan dengan solar tanpa harus memodifikasi mesin.

Uji coba yang dilakukan oleh BPPT menunjukan bahwa campuran efektif 5û30 persen biodisel per liter solar menghasilkan sistem pembakaran yang lebih sempurna, selain itu campuran juga mampu memberikan efek pelumasan pada mesin.
Sementara bioetanol adalah senyawa pengganti bensin yang terbentuk melalui proses fermentasi. Gasohol yang merupakan campuran 10 persen bioetanol dengan bensin menunjukan karakteristik yang hampir sama dengan bensin pertamax. Bahkan hasil uji coba gasohol pada kendaran bermesin bensin menunjukan kualitas emisi gas hasil pembakarannya menjadi 30-40 persen lebih baik.

Namun bioetanol hanya memiliki dua-pertiga energi bensin, karena itu penggunaan bioetanol murni pada kendaraan bermesin bensin akan menimbulkan masalah. Hal ini dapat diatasi dengan mengubah desain mesin dan reformulasi komposisi bahan bakar.

Biodisel
Ketersediaan biodisel dapat diolah dari berbagai jenis tanaman yang mengandung minyak, diantaranya: kelapa sawit, tengkawang, kelapa, kapuk, jarak pagar, rambutan, sirsak, malapari dan nyamplung. Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan, dari beberapa jenis tanaman tersebut ada dua jenis tanaman yang potensial dikembangkan kerena karakteristik yang dimilikinya.

Yang pertama adalah kelapa sawit (Elaeis Guineensis Jack) yang merupakan jenis tumbuhan monokotil, dimana kandungan sabutnya (mesocarps) berakumulasi minyak. Pabrik-pabrik biodisel skala komersial yang sekarang sudah beroperasi di tanah air menggunakan CPO dari kelapa sawit sebagai bahan bakunya.

Faktor ketersediaan menjadi alasan utama kenapa digunakannya CPO. Satu hektar perkebunan sawit dapat menghasilkan sekitar 3,6 kilo liter biodisel pertahun. Angka ini di luar jumlah CPO parit yang merupakan limbah dalam proses pembuatan CPO namun masih dapat diolah menjadi biodisel.

Pengembangan perkebunan sawit untuk substitusi bahan bakar fosil (solar) juga memberikan keuntungan lain. Sebagai negara yang ikut meratifikasi Protokol Kyoto, mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM) memungkinkan kita untuk bisa mendapatkan pemasukan melalui claim terhadap jumlah CO2 yang dapat diserap oleh perkebunan sawit.

Satu hektar lahan dapat menghasikan sekitar 36 ton/tahun biomassa berupa batang, pelepah, dan tandan sawit. Jumlah ini mampu menyerap pencemar udara CO2 sebanyak 25 ton/tahun, kemudian mengubahnya menjadi udara bersih O2 sebanyak 18 ton/tahun. Di Bangka Belitung kelapa sawit bukanlah komiditi perkebunan yang asing. Bahkan tumbuhan ini telah menjadi komoditas perkebunan unggulan di luar lada dan karet.

Pengembangan perkebunan sawit di atas lahan bekas penambangan yang memiliki kondisi topografi lembah yang tergenang air dan berpasir tentu membutuhkan tahapan persiapan lahan (land preparation) secara khusus. Untuk lahan jenis ini, mungkin investor harus mengeluarkan dana lebih besar pada saat tahap persiapan lahan apabila dibandingkan dengan membuka hutan.

Namun dana ini seharusnya dapat dikompensasikan dari dana reklamasi yang dibebankan ke pemegang kuasa pertambangan (KP).
Jenis tumbuhan kedua yang potensial untuk dikembangkan adalah jarak pagar (Jathropa curcas linneaus). Tanaman ini tergolong tanaman yang nakal karena dapat dengan mudah beradaptasi pada berbagai cuaca dan tidak membutuhkan banyak air serta pupuk.

Usia panen tanaman ini adalah enam hingga delapan bulan, namun hasil buah yang optimal baru dapat dinikmati pada usia lima tahun.
Bagian yang diambil dari jarak pagar adalah biji dan kulit (karnel) buahnya, dengan kandungan minyak masing-masing sebesar 33 persen dan 50 persen. Setiap satu hektar lahan dapat ditanami dengan 2.500 jarak pagar dan diperkirakan mampu menghasilkan biodisel sekitar 1,7 kilo liter biodisel pertahun.

Rekayasa bioteknologi memungkinkan kita untuk menghasilkan bibit jarak pagar yang memiliki kemampuan menyerap unsur hara, terutama fosfor dan nitrogen serta mikronutrien (Zn, Mo, Fe dan Cu) lebih baik. Selain itu, bibit tanaman tersebut akan memiliki peningkatan ketahanan terhadap kekeringan, serangan patogen akar dan meningkat produktivitasnya.

Melihat pada karakteristiknya di atas, maka untuk kondisi lahan kritis bekas penambangan di Bangka Belitung, perkebunan jarak pagar tampak lebih prospektif untuk dikembangkan.

Sementara ini, baru propinsi NTB dan NTT saja yang mengembangkan perkebunan jarak pagar dalam skala besar. Namun beberapa waktu yang lalu penulis juga sempat membaca bahwa Belitung ingin mereklamasi lahan bekas kegiatan penambangannya dengan tumbuhan ini.

Bioetanol
Tumbuhan yang potensial untuk menghasilkan bioetanol adalah tanaman yang memiliki kadar karbohidrat tinggi, seperti: tebu, nira, sorgum, ubi kayu, garut, ubi jalar, sagu, jagung, jerami, bonggol jagung, dan kayu. Banyaknya variasi tumbuhan yang tersedia memungkinkan kita lebih leluasa memilih jenis yang sesuai dengan kondisi tanah yang ada.

Sebagai contoh ubi kayu dapat tumbuh di tanah yang kurang subur, memiliki daya tahan yang tinggi terhadap penyakit dan dapat diatur waktu panennya. Namun kadar patinya yang hanya 30 persen, masih lebih rendah dibandingkan dengan jagung (70 persen) dan tebu (55 persen) sehingga bioetanol yang dihasilkan jumlahnya pun lebih sedikit.

Biaya produksi bioetanol tergolong murah karena sumber bahan bakunya merupakan limbah pertanian atau produk pertanian yang nilai ekonomisnya rendah serta berasal dari hasil pertanian budidaya tanaman pekarangan (hortikultura) yang dapat diambil dengan mudah. Dilihat dari proses produksinya juga relatif sederhana dan murah.

Prospek Pengembangan
Petunjuk pelaksanaan pengembangan energi alternatif secara detail sudah diatur dalam dokumen Pengelolaan Energi Nasional (PEN). Didalamnya disebutkan mengenai rencana (roadmap) pengembangan seluruh jenis energi alternatif. Dalam waktu dekat, pemerintah juga akan menerbitkan Inpres tentang biofuel (biodisel dan bioetanol) yang akan merinci insentif bagi pengembangan biofuel, termasuk instruksi kepada menteri-menteri untuk menindaklanjuti di departemen masing-masing.

Pengembangan perkebunan energi akan memberikan dampak bagi penghematan sumber energi tak terbarukan, meningkatkan ketahanan energi nasional dan berkurangnya biaya kesehatan akibat pencemaran udara serta akan membuka peluang usaha bagi masyarakat, di samping tujuan utamanya untuk mereklamasi lahan kritis yang ada.
Untuk menjaga keseimbangan lingkungan (bioferacy), variasi komposisi jenis tanaman sangat dimungkinkan. Namun tetap harus diperhatikan jenis tanaman yang akan dipilih, sehingga diharapkan mampu mengangkat harkat plasma nutfah dari endemik Babel ke taraf yang lebih tinggi.

Dengan diterbitkannya tujuh izin investasi pembangunan pabrik energi alternatif (biodiesel dan bioetanol) oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada pertengahan tahun 2005 yang lalu, memperkuat indikasi bahwa peluang bisnis di bidang bioenergi sudah dilirik para investor, sehingga pengembangan perkebunan energi menjadi sesuatu yang prospektif di masa depan. (*)

Erick Hutrindo: Staff Pusdiklat Kelistrikan dan Energi Baru Terbarukan