Thursday, April 20, 2006

Blok Cepu, Mission Accomplished! Really???? (3)

Pengantar:
Tuslisan2 berikut adalah pro kontra mengenai blok Cepu. semoga tulisan ini dapat memperkaya wawasan kita
------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan sebelumnya:
- Blok Cepu, Mission Accomplished! oleh Rizal Malarangeng
- Surat Terbuka Buat Rizal Malarangeng oleh Rovicky Dwi Putrohari
------------------------------------------------------------------------------------------------

Tulisan ketiga:

Blok Cepu dan Bangsa Kuli

Oleh: Arief Basuki


Sambutan apa yang paling istimewa terhadap kedatangan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Condoleezza Rice?. Bukan… bukan karena dia disambut khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berikut karpet merahnya. Sambutan istimewa itu adalah kemenangan ExxonMobil.

Tidak sampai 24 jam sebelum Condy –panggilan Condoleezza– mendarat di Jakarta, telah diumumkan bahwa Exxon Mobil menjadi kepala operator eksplorasi Blok Cepu. Sebuah kebetulan, atau memang kebenaran sebuah isu bahwa sebelum Condy sampai di Indonesia,semua urusan soal Cepu sudah beres?

Exxon akan memimpin eksplorasi di lapangan minyak dan gas Cepu tersebut sesuai dengan keinginan mereka: 30 tahun. Pertamina yang menginginkan agar dilakukan rotasi tiap lima tahun untuk memimpin ekplorasi hanyabisa ‘gigit jari’. Boleh dikata, Pemerintah ikut ‘menggigit jari’ Pertamina, bahkan lebih keras.

Perebutan soal siapa pengelola Cepu ini memang sudah cukup lama. Sejak zaman Abdurrahman Wahid jadi presiden, Exxon sudah berulangkali ‘menembus’ pemerintah agar bisa lolos. Begitu juga ketika zaman Megawati menggantikan Wahid. Tapi belum juga ada keputusan bulat. Kwik Kian Gie merupakan menteri yang paling getol menolak Exxon.

Tarik ulur pengelolaan Cepu kembali marak dalam satu tahun terakhir. Pertamina dan Exxon masing-masing ngotot agar bisa menjadi pengelola. Keduanya merasa mampu mengelola lapangan minyak dan gas tersebut. Pertamina didukung oleh sebagian tokoh-tokoh kritis yang peduli terhadap nasib bangsa. Exxon juga didukung mereka yang peduli nasib bangsa, bangsa Amerika.

Perang wacana dan perang data diluncurkan. Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla mendapat tekanan dari tokoh-tokoh kritis dan anggota DPR agar Pertamina lolos. SBY-Kalla juga mendapattekanan dari pemerintah Amerika agar Exxon lolos. Hasil akhirnya, tekanan Amerika lebih diperhatikan: mereka dimenangkan.

Well doneDalam Joint Operation Agreement (JOA) yang struktur organisasinya tertuang dalam Cepu Organization Agreement, Exxon resmi menjadi ‘komandan’ dalam pengelolaan ladang minyak dan gas di Cepu. DariPertamina, sebagai pihak yang memiliki lapangan tersebut, cukup dijadikan wakil saja. Di sini, Pemerintah telah melakukan putusan yang baik (well done) bagi Amerika.

Memang sejak awal sudah banyak pertanda bahwa Exxon akan dimenangkan dalam perebutan eksplorasi ini, di antaranya:

  • Pemerintah Amerika berkali-kali menekan agar Exxon dimenangkan, bahkan Presiden Bush sesekali turun tangan.
  • Wapres Jusuf Kalla mengatakan bahwa operasional Cepu bukan masalah nasionalisme tetapi profesionalisme.
  • Menneg BUMN Sugiharto memberi prasyarat untuk mengelola Cepu adalah modal, sistem logistik, kemampuan teknologi, dan pengalaman eksplorasi daerah lain. Dan jika diperbadingkan antara Pertamina dan Exxon, maka pernyataan itu mengarah ke Exxon.
  • Penegasan Presiden SBY bahwa Pertamina akan dioverhaul menyiratkan bahwa Pertamina perlu berbenah diri dulu.
  • Pernyataan direktur Pertamina Hestu Bagyo dalam wawancara di Metro TV yang menyatakan bahwa Pertamina tidak mampu mengelola Cepu. Tergusurnya Widya Purnama dari dirut Pertamina, karena selama ini dialah yang paling ngotot agar Pertamina yang mengelola lapangan Cepu.

MenentukanPertanyaan yang sering muncul, mengapa posisi sebagai operator, atau dalam kasus Cepu ini adalah posisi general manajer, diperebutkan? Karena posisi operator ini yang paling menentukan: mereka yang melakukan perencanaan, mengelola keuangan, memilih teknologi yang dipakai, dan juga memilih sumber daya manusia yang dibutuhkan.

Sudah pasti, karena Exxon yang memimpin, merekalah yang akan memilih yang menguntungkan mereka. Rekanan-rekanan mereka yang notabene asing jugalah yang akhirnya akan memperoleh cipratan rezeki dari Cepu. Terkadang harganya pun bisa digelembungkan semau mereka.

Dan yang sudah pasti, biaya eksplorasi dan eksploitasi(sunk cost) akan mereka bikin sangat besar. Kenapa, karena yang menanggung biaya tersebut adalah Negara kita. Operator tidak peduli berapa dana yangdikeluarkan untuk sunk cost atau dikenal dengan istilah cost recovery.
Perhitungan sederhana, dalam pengeboran minyak, maka bagi hasilnya adalah 85 persen untuk negara dan 15 persen operator. Tetapi pembagian tersebut setelah dikurangi biaya sunk cost.

Tak heran kalau Exxon seenaknya mematok biaya 360 juta dolar AS per tahun untuk pengelolaan Cepu, padahal Pertamina mampu 120 juta dolar AS per tahun.

Itulah mengapa Exxon ngotot menjadi operator Cepu. Apalagi, menurut hasil kajian Humpuss Patragas (pemilik pertama blok ini), cadangan minyak yang bias dieksploitasi di wilayah itu sekitar 2,6 miliar barel,dengan total produksi nantinya 170 ribu barel per hari. Kelak miliaran dolar akan lari ke Amerika lewat sunk cost yang telah digelembungkan.

Putusan bahwa Exxon yang menjadi pengelola adalah putusan bisnis, tapi keputusan bisnis yang dilandasi kepentingan politis. Pemerintah Amerika sangat berperan dalam menentukan keputusan tersebut. Sebagai ‘orang minyak’, Bush tahu betul bahwa Exxon sangat berkepentingan mengelola Cepu.

Bisnis minyak sangat mewarnai kebijakan pemerintah Amerika Serikat. Penyerangan terhadap Afghanistan yang berdalih penyerbuan terhadap sarang teroris adalah karena minyak. Begitu juga invasi ke Irak, semata-mata karena Amerika ingin menguasai minyak di Negara tersebut.
Lagi pula, ini balas budi Bush terhadap perusahaan itu. Maklum, Exxon yang berhasil memupuk keuntungan 36,2 miliar dolar AS pada 2005, sudah menyumbang 2,8 juta dolar AS kepada Bush dalam pemilu presiden 2004 silam. Belum terhitung sumbangan-sumbangan lain terhadap orang-orang di sekitar Bush.

Sebetulnya, jika landasannya murni bisnis, Pertamina sanggup. Soal biaya, siapa lembaga keuangan yang tidak tergiur dengan keuntungan Cepu? Soal kemampuan, Pertamina punya pengalaman –kalaupun kurang, panggil saja ahli perminyakan yang bekerja di perusahaan asing. Begitu juga teknologi, ibaratnya kalau tidak punya, tinggal beli.

Pertanyaaannya: Amerika Serikat terlalu ‘perkasa’ untuk pemerintahan SBY Kalla, atau pemerintahan SBY-Kalla yang tidak memiliki keberanian? Kentara sekali bahwa ‘keperkasaan’ Amerika Serikat sangat mewarnai kemenangan Exxon. Tekanan yang berujung pada kemenangan Exxon tersebut menunjukkan bahwa kita sebagai bangsa tidak pernah punya kepercayaan diri. Kita tidak pernah bangga dengan kemampuan sendiri. Kita tidak pernah sadar bahwa kita mampu bersaing.

Presiden SBY dan Wapres Jufuf Kalla seringkali mengkritik media agar jangan melulu menurunkan berita-berita pilu dan berita buruk yang mengarah ke pesimisme. Sekali-kali perlu berita optimis. Tapi, dengan melihat kasus Exxon ini, justru pemerintah yang membawa negara ini pesimistis, tidak percaya diri, dan mau diinjak-injak asing.

Kasus Cepu ini mencerminkan bahwa Pemerintah mengajarkan pada rakyatnya untuk selalu tunduk pada kepentingan asing. Pemerintah mengajarkan pada rakyat agar jangan percaya kepada kemampuan diri sendiri. Pemerintah mengajarkan rakyat agar cukup menjadi kuli bangsa asing, bahkan di negara sendiri.

Terbayang ketika SBY menyambut Condoleezza Rice, dia akan menyapa: Welcome, Condy. Dengan segera pula Rice akan menjawab: Well done, SBY.

Ikhtisar:

  • Tidak sampai 24 jam sebelum MenluAS, Condoleezza Rice, mendarat di Jakarta, ExxonMobil diumumkan sebagai kepala operator eksplorasi Cepu.
    Exxon akan memimpin eksplorasi sesuai keinginan mereka: 30 tahun dan tidak dirotasi setiap lima tahun sekali seperti keinginan Pertamina.
  • Dengan menjadi operator, Exxon menentukanperencanaan, pengelolaan keuangan, teknologi yang dipakai, dan SDM yang dibutuhkan.
  • Bagi hasil Cepu adalah 85 persen untuk negara, 15 persen untuk operator. Tapi pembagian tersebut setelah dikurangi biaya eksplorasi dan eksploitasi (sunk cost)yang dibebankan kepada negara.
  • Exxon mematok biaya 360 juta dolar AS per tahun untuk pengelolaan Cepu, padahal Pertamina mampu 120 juta dolar AS per tahun.
  • Cadangan minyak yang bisa dieksploitasi dari Cepu sekitar 2,6 miliar barel, dengan total produksi nantinya 170 ribu barel per hari.
  • Putusan Exxon yang menjadi pengelola adalah putusan bisnis, tapi keputusan bisnis yang dilandasi kepentingan politis dengan peran besar pemerintah AS.
  • Kemenangan Exxon adalah balas budi Bush karena Exxon–yang untung 36,2 miliar dolar AS pada 2005—-sudah menyumbang 2,8 juta dolar AS kepada Bush dalam pemilu presiden 2004 silam. Belum terhitung sumbangan - sumbangan lain terhadap orang-orang disekitar Bush.
    Sumber: Republika, 15 Maret 2006

Tuesday, April 04, 2006

Blok Cepu, Mission Accomplished! Really???? (2)

-----------------------------------------------------------------
Pengantar:
Tuslisan2 berikut adalah pro kontra mengenai blok Cepu. semoga tulisan ini dapat memperkaya wawasan kita.

[tulisan sebelumnya]
-------------------------------------------------------------------

Tulisan dua:
Surat Terbuka Buat Rizal Malarangeng
oleh: Rovicky Dwi Putrohari

Mas Rizal yang baik,

Selamat atas "kesuksesan" anda. (maaf masih dalam "tanda kutip" karena
saya terpaksa menganggap ini masih wacana pribadi anda yg menyatakan
sukses).

Sudah sejak awal (ketika dioperasikan HUMPUSS) saya melihat bahwa Cepu
ini sudah kontroversial. Awalnya kontrak daerah ini berupa sebuah
kontrak TAC (Technical Asiistant Contract), adalah kontrak yang pada
kontrak2 sejenis lainnya/sebelumnya isinya berupa bantuan dalam proses
produksi, bukan eksplorasi. Namun saya ndak tahu apa sebabnya
tiba-tiba HUMPUSS melakukan kegiatan eksplorasi. Pada waktu itupun
saya sebagai praktisi di Migas di Indonesia cukup bangga karena "ada"
perusahaan nasional yg "berani" melakukan eksplorasi. Walaupun "cara"
mendapatkan daerah konsesinya dengan fasilitas. Which is OK to me, lah
masih "anak-anak" kan wajar kalau dapet subsidi "uang jajan".

Namun perjalan sejarah berikutnya berubah lain lagi. Blok ini entah
bagaimana "berubah" menjadi PSC dan ini tentusaja mengundang
pertanyaan dan menjadi delik khusus, apakah bisa kontrak berubah. Dan
fenomena inipun dipertanyakan oleh salah satu BOD IPA (Indonesian
Petroleum Associacion).

Yang ingin saya garis bawahi adalah adanya "kejadian" perubahan
kontrak. Bisa jadi kontrak baru ini bagus (entah versi siapapun),
namun yg saya sayangkan sepertinya ada "pelanggaran" komitmen awal.
Dimana menurut saya komitmen awal harus diseleseikan dulu. Dan
sepertinya kelemahan org Indonesia ini adalah mempertahankan komitmen.
Dan anda tahu kan, bahwa komitmen daerah ini yg seharusnya berenti
tahun 2010. Namun saya heran kenapa anda menyatakan Indonesia akan
menikmati hasil setelah 2012 itupun "kalau memenangkan" arbitrase.
Bukankah kontrak TAC dengan humpus yg berubah ke PSC ini akan berakhir
dengan sendirinya tahun 2010 ? Dan perpanjangan kontrak bukanlah
sebuah "keharusan" ? Mengapa anda takut ada arbitrase ?

PSC (Production Sharing Contract) pada prinsipnya mirip BOT (Build
Operate and Transfer), mirip membangun jalan Tol. Artinya pada akhir
kontrak harus ditransfer dulu ke "host country", perkara nantinya
diperpanjang lagi itu tidak apa-apa, apalagi kalau menuntungkan kedua
belah pihak. Tetapi menganggap bahwa perpanjangan kontrak sebagai
sebuah keharusan yg bisa menuai badai arbitrase menurutku logika yang
"salah besar". Karena menyalahi ide dasar BOT diatas. Walopun ternyata
jalan Tol yg juga BOT-pun ndak dikembalikan juga ke negara ya :) ...
ok ini perkara lain.
Perpanjangan kontrak yg belum berakhir karena diburu-buru ini tidak
hanya Kontrak Cepu. Bahkan kontrak Freeport dulu juga diperpanjang
sebelum masa kontrak berakhir. Ini yang harus diperhatikan Mas Rizal.
Bahwa memperpanjang kontrak yg masih jauuuh akan berakhir seringkali
"menjebak". Jadi saran saya seleseikan dulu kontrak baru diperpanjang
setelah dikembalikan. Kan wajar to ?

Mas Rizal, saat ini saya bekerja di Kuala Lumpur, Malaysia. Dan saya
punya kesempatan banyak melihat bagaimana industri migas Malaysia
melalui Petronas-nya berkembang pesat. Sistem PSC mereka diadopsi dari
PSC Indonesia, namun modifikasi yg dilakukannya sangat canggih.
Silahkan mampir di blog saya ( rovicky.blogspot.com ), saya
menguraikan panjang lebar tentang perbandingan PSC Indonesia dan
Malaysia. Dimana salah satunya adalah Malaysia menjalankan PSC ya
persis sistem BOT. Yaitu semua kontrak PSC yg habis dikembalikan ke
Petronas dan dikelola sendiri oleh Petronas. Dan jangan kaget saat ini
ada 150 Geoscience dan Engineer Indonesia yg bekerja di Kuala Lumpur.
Hampir semua project Petronas pasti "dihiasi" oleh GGE Indonesia. Jadi
bukan hanya TKI pembantu dan buruh saja yg ada di Malaysia.

Nah ada tiga point yg ingin saya sampaikan mas Rizal.
- Bahwa ide BOT dijalankan dengan baik di Petronas sehingga Petronas
dapat "belajar" mengendalikan sendiri perminyakannya. Dan GGE
Indonesia telah kehilangan Cepu sebagai ladang belajar.
- GGE Indonesia ini sudah mampu mengelola lapangan minyak. Dan ini
justru diakui oleh Petronas namun justru tidak diakui di dalam negeri,
bahkan tidak diakui oleh pemerintahnya sendiri (paling tidak secara
tak langsung).
- PSC term tidak hanya masalah "fiskal". Split kadang kala tidak
berarti banyak dalam longterm production. Ketahuilah kita hanya sukses
menjalankan PSC generasi pertama saja. Dimana plateu production kita
ini hanya ertahan 20-30 tahun sejak PSC dicanangkan. Artinya hanya
satu kali periode kontrak PSC.


Nah kembali soal Cepu Blok. Saya tahun kemarin (2005) pernah membuat
seminar bersama teman-teman di Indonesia lewat IAGI-HAGI (Ikatan Ahli
Geologi Indonesia - Himpunan Ahli Geofisika Indonesia). Pada waktu itu
yg saya katakan hanyalah soal kemampuan orang Indonesia mengelola
Cepu. Mengapa saya berkonsentrasi disini karena rasa bangga dan diakui
mampu impaknya ternyata sangat besar. Memang tidak instant seperti yg
Mas Rizal katakan "untuk saat ini" yg mampu membuat sekolahan dan
puskesmas. Ungkapan ketidak mampuan Indonesia mengelola Cepu inilah yg
"menohok urat malu" teman-teman saya di HAGI dan IAGI. Sehinga mereka
merasa dipermalukan dengan ungkapan tidak mampu sebagai pengelola
lapangan minyak.

Barangkali bener kata anda bahwa mereka masih cerewet dan merengek2,
namun ya inilah kondisi bangsamu Mas Rizal. Anda barangkali sudah
berjalan terlalu maju kedepan. Namun pelajaran yg saya ambil dari
Malaysia justru sebaliknya dengan anda. Mereka (pemerintah Malysia)
saat ini sedang "melindungi" Mobil Nasionalnya Proton, dengan
menurunkan harganya sekitar 2-3 %. Hanya satu alasan logis yg saya
rasakan, untuk meningkatkan kebanggan rakyat menggunakan mobil
bikinannya dan sebagai Bangsa Malaysia. Nah anda yg dalam posisi
sebagai negosiator justru memposisikan bangsa sendiri dalam posisi
dibawah. Wah nyesel saya Mas Rizal ... maaf.

Ya, Saya saat ini juga tidak akan berkepanjangan memikirkan soal Cepu
ini lagi. Karena saya barusaja menemukan kembali "harta karun" negara
saya berupa cadangan geothermal yg cadangannya merupakan 40% cadangan
dunia, dan nilainya setara dengan 8 milyar BOE, bandingkan dengan cepu
yg hanya 500-700 juta barrel. Nah saya aprreciate kalau anda masih
ingin berkutet sebagai negosiator didalam sektor geothermal ini.
KArena energi geothermal ini hanya bisa diubah menjadi listrik
sehingga relatif "aman" tidak dijarah negara2 yg rakus energi.
Nah, Mas Rizal kalau memang anda bener mau sukses, tolong Energi
Geothermal ini "dikawal" lagi ya ...

Salam,

Rovicky Dwi Putrohari
Geologist Indonesia
Anggota : IAGI-HAGI-IPA