Wednesday, May 17, 2006

Iran v Amerika, Mullah v Koboi

Jawa Pos Kamis, 18 Mei 2006,
Oleh Awang Riyadi dan Fitria Astuti Firman


Pertemuan KTT D-8 di Bali menjadi momen menarik yang perlu dicermati seiring dengan isu nuklir Iran. Tidak salah jika Iran memanfaatkan pertemuan D-8 yang notabene adalah negara-negara muslim yang berkembang untuk mencari dukungan. Hal itu semakin relevan jika kita cermati kebijakan Indonesia dalam hal pemanfaatan nuklir untuk pembangkit listrik yang akan mulai dibangun pada 2010 dan mulai ditenderkan pada 2007. Bahkan, menteri energi dan sumber daya mineral mengatakan, pada 2015, Indonesia akan mengembangkan 1.000 MW listrik dari pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) (Republika 13/5/06).

Iran v Amerika, Mullah v Koboi?
Perdebatan masalah nuklir Iran tidak bisa lepas dari arogansi Amerika dan sikap keras Iran untuk tidak mau tunduk kepada tekanan mana pun. Kekhawatiran Amerika, yang menyebut Iran sebagai salah satu poros setan bersama Korea Utara, bahwa Iran akan mengembangkan senjata nuklir, mengingatkan kita pada alasan Amerika meluluhlantakkan Iraq. Apakah itu akan berulang dengan taktik yang sama?

Sikap Amerika yang bertekad menghentikan dengan cara apa pun upaya Iran melakukan pengayaan uranium sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN)-nya bukan hal yang sulit untuk kita baca dalam konteks percaturan politik Timur Tengah. Saat ini, kekuatan negara Timur Tengah (Arab) yang dapat menandingi Israel, sekutu utama Amerika, praktis hanya Iran setelah Iraq porak poranda. Bisa jadi, ini adalah upaya selanjutnya bagi Amerika untuk menjamin tidak adanya tandingan bagi kekuatan militer Israel di Timur Tengah.Alasan utama Iran, yang dikenal sebagai negeri para mullah, dalam mengembangkan teknologi nuklir adalah karena Iran merasa teknologi itu cocok bagi penyediaan energi di negaranya.

Presiden Iran Mahmoud Ahmad Dinejad menyatakan di dalam pidatonya di depan mahasiswa Universitas Indonesia, Kamis (11/5), bahwa teknologi nuklir bagi penyediaan listrik merupakan teknologi yang paling canggih di antara teknologi penyediaan energi listrik lainnya yang merupakan gabungan semua ilmu dari matematika, fisika, kimia, metalurgi, hingga mekanika. Menurut dia, setiap bangsa mempunyai hak untuk memilih teknologi mana yang sesuai dengan negaranya serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi apa pun sepanjang untuk kepentingan damai.Yang diperjuangkan Iran sekarang merupakan sebuah perjuangan akan adanya keadilan dalam menggunakan hak-haknya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kesejahteraan yang bukan hanya milik suatu negara.

Ahmad Dinejad menyatakan secara tegas dalam kuliah umumnya di Universitas Indonesia bahwa yang diperjuangkan Iran sekarang merupakan perjuangan untuk bangsa-bangsa lainnya, termasuk Indonesia.Namun, layaknya film-film koboi, Amerika menggunakan hukum rimba dalam menegakkan supremasi dan kepentingannya (juga kepentingan Israel). Rasanya, tidak mengherankan jika Iran menjadi Iraq berikutnya. Jika kita melihat secara objektif isu nuklir sebagaimana didengungkan Amerika, maka jika mau adil, seharusnya Israel pun ditekan untuk membuka diri bagi pengamat internasional (IAEA) mengaudit teknologi nuklirnya. Bukan isu baru bahwa Israel telah mampu mengembangkan senjata nuklir, bahkan memiliki 200-an hulu ledak nuklir.

Berbeda dengan Iran, Israel tidak pernah menandatangani kesepakatan nonpoliferasi senjata nuklir (NPT) walaupun sejak 1960-an telah membangun instalasi nuklir di Dimona. Ini jelas menunjukkan Iran lebih memiliki niat baik daripada Israel yang sangat merahasiakan pengembangan nuklirnya dan tidak mau meratifikasi traktat NPT.Kerahasiaan kemampuan Israel dalam teknologi nuklir mulai terkuak sejak Vanunu Mordechai, seorang teknisi di reaktor Dimona, pada 1986 membocorkan rahasia tentang pengembangan senjata nuklir Israel kepada harian Sunday Times London yang menyebabkan dia dipenjara 18 tahun. Israel bahkan dipercaya sebagai negara nuklir terbesar keenam didunia.

Lebih ironi lagi, tidak sampai sebulan lalu, kita membaca di berbagai media bagaimana Amerika mendukung akses nuklir AS-India (Republika, 7/4/06). Padahal, India adalah negara yang tidak meratifikasi traktat nonpoliferasi senjata nuklir (NPT).

Tetapi, apa yang kita lihat sekarang dengan sikap Amerika dan negara Barat lainnya kepada Israel dan India vis a vis kepada Iran?

Berkah atau Bencana?
Sejak awal, nuklir dikembangkan memang untuk keperluan Perang Dunia Kedua yang dikenal dengan proyek Manhattan. Hasilnya adalah tragedi kemanusiaan Hiroshima dan Nagasaki di Jepang. Walaupun telah bertahun-tahun berlalu, efek peristiwa itu begitu membekas. Sebagian korban akibat peristiwa-peristiwa itu masih hidup dengan trauma yang tak terperikan. Boleh dikatakan, radiasi nuklir telah menghapus harapan hidup mereka untuk dapat hidup secara "normal".

Baru setelah Perang Dunia Kedua, nuklir mulai dimanfaatkan untuk kepentingan damai -pembangkitan tenaga listrik. Reaktor pembangkit pertama beroperasi pada 1951 dan terus berkembang mengingat teknologi pembangkitan listrik dengan memanfaatkan nuklir dapat dilakukan dengan biaya paling murah dibanding teknologi lainnya, bahkan mencapai sekitar 0.012 dolar/kWh. PLTN juga berperan dalam pengurangan gas rumah kaca. Prancis pada 1980 berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca yg dihasilkan hingga sepertiganya sejak pemanfaatan teknologi nuklir mencapai 76% dari kebutuhan listriknya.

Energi nuklir telah menyumbang penurunan hampir dua setengah miliar ton emisi karbondioksida per tahun di seluruh dunia relatif terhadap batu bara. Sebagai perbandingan, jika 2.400 TWh energi listrik dari nuklir dibangkitkan dengan menggunakan batu bara, maka akan dihasilkan 2,4 miliar ton karbondioksida atau 22 ton uranium yang digunakan untuk listrik akan mengurangi emisi sekitar satu juta ton karbondioksida, relatif terhadap batu bara (sumber: infotek Batan).

Indonesia dan Nuklir
Pemerintah Indonesia melalui Kebijakan Pengembangan Energi Nasional 2005-2025 menargetkan tenaga nuklir berpartisipasi dalam penyediaan energi nasional sekitar 1,9 % pada 2025. Diharapkan, pada 2010, konstruksi pembangkit listrik tenaga nuklir sudah mulai dibangun dan pada 2016, pembangkit tersebut telah diinterkoneksikan dengan Sistem Pembangkit Jawa Madura Bali (Jamali). Teknologi nuklir sendiri di Indonesia telah berkembang cukup pesat, namun pemanfaatannya sebagai salah satu sumber penyediaan tenaga listrik masih belum banyak kemajuan, padahal UU tentang Ketenaganukliran telah ada sejak 1997. UU No 10/1997 tersebut menyatakan, tenaga nuklir terkait erat dengan kehidupan dan keselamatan manusia dan pemanfaatannya ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang dilaksanakan secara tepat dan hati-hati serta untuk tujuan damai.

Teknologi itu bukan hanya dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik dan senjata, tapi juga sangat bermanfaat bagi kepentingan lain, seperti pertanian dan kesehatan.

Penulis:
Awang Riyadi, peminat masalah energi
Fitria Astuti Firman, penerima beasiswa Master of Engineering Energy, The University of Melbourne

Tuesday, May 16, 2006

Nuklir Tidak Hanya Tentang Nuklir

Oleh Awang Riyadi* dan Fitria Astuti Firman*

Pertemuan KTT D-8 di Bali yang baru saja berakhir menjadi momen menarik yang perlu dicermati seiring isu nuklir Iran. Tidak salah jika Iran memanfaatkan pertemuan D-8 yang notabene adalah negara-negara muslim yang berkembang untuk mencari dukungan. Hal ini semakin relevan jika kita cermati kebijakan Indonesia dalam hal pemanfaatan nuklir untuk pembangkit listrik yang akan mulai dibangun pada tahun 2010 dan mulai ditenderkan pada 2007 mendatang. Bahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengatakan pada tahun 2015 Indonesia akan mengembangkan 1000 MW listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).

Iran Vs Amerika, Mullah Vs Cowboy?
Perdebatan masalah nuklir Iran tidak bisa lepas dari arogansi Amerika dan sikap keras Iran untuk tidak mau tunduk pada tekanan manapun. Kekhawatiran Amerika, yang menyebut Iran sebagai salah satu poros setan bersama korea utara, bahwa Iran akan mengembangkan senjata nuklir, mengingatkan kita pada alasan Amerika menluluhlantakkan Irak. Apakah ini akan berulang dengan taktik yang sama?

Sikap Amerika yang bertekad menghentikan dengan cara apapun upaya Iran melakukan pengayaan uranium sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga nuklirnya bukan hal yang sulit untuk kita baca dalam konteks percaturan politik timur tengah. Saat ini kekuatan negara timur tengah yang dapat menandingi Israel, sekutu utama Amerika, praktis hanya Iran setelah Irak porak poranda. Bisa jadi ini adalah upaya selanjutnya bagi Amerika untuk menjamin tidak adanya tandingan bagi kekuatan militer Israel di Timur Tengah.

Alasan utama Iran, sebagaimana diungkapkan Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad dalam pidatonya di depan mahasiswa Universitas Indonesia, Kamis (11/5) setiap bangsa mempunyai hak untuk memilih teknologi mana yang sesuai dengan negaranya dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi apapun sepanjang untuk kepentingan damai. Ahmadinejad menyatakan secara tegas bahwa apa yang diperjuangkan oleh negaranya sekarang merupakan perjuangan untuk bangsa-bangsa lainnya, termasuk Indonesia.

Namun, layaknya cowboy dalam film-film Holywood, Amerika menggunakan hukum rimba dalam menegakkan supremasi dan kepentingannya (juga kepentingan Israel). Rasanya tidak mengherankan jika Iran menjadi Irak berikutnya. Jika kita melihat secara obyektif isu nuklir sebagaimana didengungkan Amerika, maka jika mau adil seharusnya Israel-pun ditekan untuk membuka diri bagi pengamat internasional (IAEA) mengaudit teknologi nulkirnya. Bukan isu baru bahwa Israel telah mampu mengembangkan senjata nuklir bahkan memiliki 200-an hulu ledak nuklir.

Berbeda dengan Iran, Israel tidak pernah menandatangani kesepakatan non pliferasi senjata nuklir (NPT) walaupun sejak tahun 1960-an telah membangun instalasi nuklir di Dimona. Ini jelas menunjukkan Iran lebih memiliki niat baik dibandingkan Israel yang sangat merahasiakan pengembangan nuklirnya dan tidak mau meratifikasi traktat NPT.

Kerahasiaan kemampuan Israel dalam teknologi nuklir mulai terkuak sejak Vanunu Mordechai, seorang teknisi di reaktor Dimona pada tahun 1986 membocorkan rahasia tentang pengembangan senjata nuklir Israel kepada harian Sunday Times London yang menyebabkannya dipenjara 18 tahun. Israel bahkan dipercaya sebagai negara berkekuatan nuklir terbesar ke enam didunia.

Bahkan lebih ironi lagi, tidak sampai sebulan lalu kita membaca di berbagai media bagaimana Amerika memberikan akses nuklirnya kepada India. Padahal India adalah negara yang tidak meratifikasi traktat non poliferasi senjata nuklir (NPT).

Tetapi apa yang kita lihat sekarang dengan sikap Amerika dan negara Barat lainnya kepada Israel dan India vis a vis kepada Iran?

Nuklir, Berkah dan Bencana Dunia?
Sejak awal, nuklir dikembangkan memang untuk keperluan perang dunia kedua yang dikenal dengan proyek Manhattan. Hasilnya adalah tragedi kemanusiaan Hiroshima dan Nagasaki di Jepang. Walaupun telah bertahun-tahun berlalu, efek peristiwa itu begitu membekas. Sebagian korban akibat peristiwa-peristiwa itu masih hidup dengan trauma yang tak terperikan. Boleh dikatakan, radiasi nuklir telah menghapus harapan hidup mereka untuk dapat hidup secara ’normal’.

Baru setelah berakhir perang dunia kedua, nuklir mulai dimanfaatkan untuk kepentingan damai yaitu pembangkitan listrik. Reaktor pembangkit pertama beroperasi pada tahun 1951 dan terus berkembang mengingat teknologi pembangkitan listrik dengan memanfaatkan nuklir dapat dilakukan dengan biaya paling murah dibanding teknologi lainnya bahkan mencapai sekitar 0.012 dolar/kWh. PLTN juga berperan dalam pengurangan gas rumah kaca. Perancis pada tahun 1980 berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca yg dihasilkan hingga sepertiganya sejak pemanfaatan teknologi nuklir mencapai 76% dari kebutuhan listriknya.

Energi nuklir telah menyumbang penurunan hampir dua setengah milyar ton emisi karbondioksida per tahun di seluruh dunia relatif terhadap batu bara. Sebagai perbandingan jika 2400 TWh energi listrik dari nuklir dibangkitkan dengan menggunakan batu bara, maka akan dihasilkan 2,4 milyar ton karbondioksida atau 22 ton uranium yang digunakan untuk listrik akan mengurangi emisi sekitar satu juta ton karbondioksida, relatif terhadap batu bara (sumber: infotek Batan).

Namun pemanfaatan energi nuklir bukanlah tidak beresiko. Masih lekat dalam ingatan kita tragedi Chernobyl. Jika melihat apa yang terjadi di masa lalu, kita akan bertanya apakah teknologi nuklir tersebut merupakan suatu berkah atau suatu bencana bagi dunia? Semua tergantung ketelitian dan kehati-hatian kita dalam memanfaatkannya, semua ada benefit dan resikonya.

Indonesia dan Nuklir
Tidak dapat dipungkiri lagi jika Indonesia sudah merupakan ’net importer country’ akan minyak bumi. Bahkan Indonesia adalah satu-satunya negara OPEC yang sengsara akan kenaikan harga minyak dunia yg mencapai sekitar 73 US$ per barrel. Permintaan akan energi terus meningkat tajam dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, maka ketergantungan yang tinggi terhadap minyak bumi harus dikurangi dengan cara meningkatkan pemanfaatan energi alternatif.

Untuk meningkatkan pemanfaatan energi alternatif, khususnya energi terbarukan, Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa usaha, di antaranya adalah Kebijakan Energi Nasional dan telah menetapkan suatu target untuk mengoptimalkan pemanfaatan energi, yaitu dengan cara mengurangi pemanfaatan minyak bumi dan meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan. Diharapkan sekitar 15% dari pengadaan energi nasional dapat dipenuhi oleh energi terbarukan pada tahun 2025, yang terdiri dari 5% berasal dari panas bumi, 5% dari biofuel dan sisanya dari energi terbarukan lainnya.

Kebijakan lainnya yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah yaitu Blueprint Pengembangan Energi Nasional 2005-2025 dimana nuklir ditargetkan berpartisipasi dalam penyediaan energi nasional sekitar 1,9 % pada tahun 2025 nanti. Diharapkan pada tahun 2010 nanti, kontruksi pembangkit listrik tenaga nuklir sudah mulai dibangun dan pada tahun 2016, pembangkit tersebut telah diinterkoneksikan dengan Sistem Pembangkit Jawa Madura Bali (Jamali).

Teknologi nuklir sendiri di Indonesia telah berkembang cukup pesat, namun pemanfaatannya sebagai salah satu sumber penyediaan tenaga listrik masih belum banyak kemajuan, padahal UU tentang Ketenaganukliran telah ada sejak tahun 1997. UU No. 10 Tahun 1997 tersebut menyatakan bahwa tenaga nuklir terkait erat dengan kehidupan dan keselamatan manusia dan pemanfaatannya ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang dilaksanakan secara tepat dan hati-hati serta untuk tujuan damai.Teknologi ini tidak hanya dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik dan senjata saja, tapi sangat bermanfaat bagi kepentingan lain, seperti pertanian dan kesehatan.

Apakah Indonesia akan bernasib sama dengan Iran?
Rasanya saat ini kita masih optimis, dunia (Amerika dan negara Barat) akan mendukung pemanfaatan nuklir untuk keperluan damai oleh Indonesia. Sebagaimana disampaikan Menteri Luar Negeri Hasan Wirayuda dalam KTT D-8 di Bali bahwa tidak ada alasan negara-negara maju tersebut menolak upaya Indonesia mengembangkan nuklir sebagai energi alternatif. Karena Indonesia merupakan negara pihak pada Traktat Non Proliferasi (NPT/Nuclear Non Proliferation Treaty) serta berbagai instrumen pelengkap, yakni Safeguard Agreement dan Additional Protocol.

Menristek Kusmayanto Kadiman sebelumnya mengatakan rencana Indonesia untuk mengembangkan tehnologi nuklir hingga saat ini mendapat dukungan dari sejumlah negara seperi Amerika Serikat, Perancis dan Jepang sementara itu Italia, Jepang, Jerman, Rusia dan Cina dikabarkan tertarik untuk berinvestasi.

Indonesia juga menjadi negara yang patuh kepada kesepakatan-kesepakatan tentang nuklir yang sudah ditandatangani. Safeguard Agreement dengan IAEA ditandatangani pada tanggal 14 Juli 1980. Sedangkan Additional Protocol yang melengkapi Safeguard Agreement ditandatangani pada tanggal 29 September 1999.

Namun jika kita menengok sejarah, bukan tidak mungkin suatu saat akan terjadi seperti kasus Timor Timur. Ketika dibutuhkan untuk membendung pengaruh komunis, Indonesia didorong Amerika dan Australia untuk masuk ke Timor Timur. Tetapi ketika situasi berubah Indonesia-pun akhirnya dipaksa harus melepaskan Timor Timur.

Bagaimanapun juga, negara-negara Barat (terutama Amerika dengan lobi Yahudi-nya), memiliki prasangka kepada negara Islam, mungkin sebagai akibat trauma perang salib dan perang Timur Tengah pada waktu pendirian negara Israel. Posisi Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia yang juga memiliki potensi kekuatan ekonomi dan militer yang besar merupakan satu kekuatan yang harus diperhitungkan di masa depan. Bukan tidak mungkin, jika suatu saat mereka memandang Indonesia sebagai ancaman kepentingan mereka, Indonesia-pun akan di-Iran-kan.
Siapa tahu?

* Peminat masalah energi