14-Mar-2005; 10:54 - mel
Sumber: Kompas
Kwik Kian Gie - Pengamat EkonomiHARGA BBM sudah dinaikkan. Harapannya sekarang supaya harga yang sudah naik ini sementara berlaku untuk waktu yang relatif lama sehingga atas dasar harga yang baru dunia usaha sudah bisa melakukan kalkulasi dan membuat perencanaan bisnisnya. Syukur kalau ada jaminan pemerintah tidak akan menaikkannya lagi sampai tahun 2009. Mungkinkah itu?
BERKALI-kali saya beserta banyak orang mempertanyakan apa relevansinya harga minyak dunia dengan harga yang dikenakan kepada konsumen rakyat Indonesia yang memiliki sendiri minyaknya? Kalau pemerintah konsisten dengan titik tolak pikir bahwa harga bahan bakar minyak (BBM) harus dibawa sampai sepenuhnya sama dengan yang terbentuk di pasar internasional, jelas tidak akan ada kepastian, apakah harga BBM tidak akan naik lagi kalau harga minyak dunia meningkat terus.
Ada baiknya kita mempertanyakan hal-hal mendasar sejak sekarang agar ada pegangan untuk kebijakan di masa mendatang.
Minyak mentah tidak dihargai nol.Pertama, perlu diluruskan adanya pandangan bahwa harga minyak mentah Indonesia dihargai nol kalau tidak mengacu pada harga minyak dunia. Ini tidak benar. Ketika harga bensin premium masih Rp 1.810 per liter, harga minyak mentahnya dihargai Rp 1.270 per liter, yaitu harga konsumen yang Rp 1.810 per liter dikurangi dengan biaya lifting, pengilangan, dan transportasi sebesar Rp 540 per liter. Setelah dinaikkan menjadi Rp 2.400 per liter, maka minyak mentahnya dihargai Rp 1.860 per liter. Tidak nol!
Mekanisme pasar yang mana?Dikatakan bahwa kalau sistem ekonomi yang kita anut bukan sistem ekonomi komunis, semua barang dihargai dengan harga yang terbentuk melalui mekanisme pasar. Jelasnya, harga adalah titik perpotongan antara kurva permintaan dan kurva penawaran. Seperti kita ketahui, kurva permintaan dan kurva penawaran ditentukan dari semua yang berminat membeli dan semua yang berminat menjual.
Dari massa titik-titik para pembeli itu ditentukan garis tengahnya. Itulah kurva permintaan.
Demikian juga dengan pembentukan kurva penawaran. Pertanyaannya, di mana kurva permintaan dan kurva penawaran itu dikompilasi guna menentukan titik potongnya? Di New York. Adakah minyak mentah Indonesia yang diperdagangkan di sana? Praktis tidak ada, karena produksi minyak Indonesia seluruhnya sudah kurang untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya sendiri. Berapa dari jumlah produksi minyak mentah seluruh dunia yang diperdagangkan di New York? Hanya 30 persen. Yang 70 persen dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan raksasa minyak dari hulu sampai hilir.
Kita tahu ada banyak bentuk pasar, antara lain perfect competition, monopolistic competition, oligopoli, duopoli, dan monopoli. Bentuk pasar di New York mirip dengan perfect competition. Bentuk pasar minyak di Indonesia jelas monopoli, dan monopoli itu diberikan kepada Pertamina, dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah.
Harga yang ditentukan oleh pemerintah bukan harga yang setinggi-tingginya sebagaimana layaknya monopolis partikelir. Justru sebaliknya, pemerintah menetapkan harga yang serendah-rendahnya supaya terjangkau oleh rakyat banyak yang masih miskin dan sangat rendah daya belinya.
Jadi, kedudukan monopoli pemerintah tidak dipakai untuk memperoleh laba maksimal, tetapi dipakai untuk menjalankan fungsi sosialnya sesuai dengan jiwa dan amanat Pasal 33 UUD kita. Karena itu, kurva penawarannya tidak dapat digambar seperti yang ada dalam buku teks karena perilakunya bukan profit maximisation.
Mengapa tim ekonomi di pemerintahan lantas bersikap dan berperilaku seperti monopolis partikelir? Lantas melupakan fungsi sosialnya dalam penetapan harga minyak yang miliknya rakyat?
Bukankah buat migas produk Indonesia yang bekerja bukan invisible hands-nya mekanisme pasar, tetapi invisible hands-nya kekuatan politik, kepentingan dan ideologi?
Saya paham supaya hasil penjualannya yang lebih besar dapat dipakai untuk tujuan-tujuan baik juga buat rakyat. Tetapi, siapa yang menentukan prioritas bahwa pemerintah sebaiknya menggencet rakyat dalam hal minyak supaya dapat memanjakannya dalam bidang pendidikan dan kesehatan?
Jadi, dengan kebijakan yang diprotes rakyat banyak, pemerintah justru ingin memperbesar keadilan.
KeadilanDikatakan yang menikmati bensin terlampau murah hanya orang kaya. Ini tidak betul. Bagian terbesar dari kendaraan yang mengonsumsi premium adalah sepeda motor, bajaj, mikrolet, pick up dan truk pengangkut barang, angkot, ojek, dan masih banyak lagi orang miskin atau kelompok yang berpendapatan pas-pasan. Orang kaya memakai bensin pertamax dan pertamax plus.
Kalau mau adil, jelas, konkret, dan tepat sasaran, mobil sedan dan MPV trendy dengan kapasitas di atas cc tertentu dipajaki setinggi-tingginya. Mengapa lantas menjadi tambal sulam? Rakyat digencet, terus diobati dengan apa yang dinamakan kompensasi.
Yang digencet perutnya sampai menjadi lapar, obatnya pendidikan dan pelayanan kesehatan murah. Buat orang yang terlampau miskin dan lapar, pendidikan menjadi abstrak, betapapun pentingnya untuk jangka panjangnya. Dan orang yang terlampau miskin, dengan pendidikan yang membaik, jangka panjangnya akan mati di tengah jalan karena kelaparan.
Pelayanan kesehatan murah memang diberikan, tetapi mengapa dibuat tidak sehat terlebih dahulu dengan disuruh kekurangan makan karena naiknya harga barang-barang kebutuhan pokoknya ?
Arti kata "subsidi"Karena secara fundamentalis harus ikut dengan mekanisme pasar di New York, selisih harga antara pasar New York dan harga yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia disebut subsidi. Ini membawa kebingungan lagi. Walaupun harga bensin ditetapkan sangat rendah, tetapi tidak berarti harga minyak mentah dihargai nol.
Dengan harga yang sekarang berlaku untuk bensin premium sebesar Rp 2.400 per liter, harga minyak mentahnya dihargai Rp 1.860 per liter. Dengan sendirinya pemerintah memperoleh kelebihan uang tunai sebesar Rp 1.860 per liter untuk setiap liter bensin premium yang digali dari bumi Indonesia sendiri. Maka, istilah "subsidi" tidak sama dengan uang keluar.
Tetapi, karena kata "subsidi" lazimnya berarti ada uang keluar, sadar atau tidak, pemerintah menjadi percaya bahwa subsidi identik dengan pengeluaran uang. Ini mengakibatkan ucapan yang sangat aneh dan membingungkan.
Pernyataan pemerintah terakhir berbunyi: "Kalau harga bensin tidak dinaikkan, pemerintah tekor sekitar Rp 60 triliun. Tetapi, kalau harga bensin dinaikkan, pemerintah bisa memberikan santunan kepada kaum miskin dengan jumlah Rp 17,9 triliun".
Mari kita telaah kalimat tersebut. Harga bensin premium sudah dinaikkan dari Rp 1.810 menjadi Rp 2.400 per liter. Apakah dengan kenaikan ini pemerintah sudah kelebihan uang sebesar Rp 17,9 triliun atau lebih yang digunakan untuk menyantuni kaum miskin?
Saya bertanya kepada banyak orang yang menganut faham bahwa subsidi identik dengan uang keluar. Mereka mengatakan, dengan harga bensin premium Rp 2.400 per liter, keuangan pemerintah masih tekor. Hanya tekornya tidak lagi Rp 60 triliun.
Katakanlah tekornya yang tadinya Rp 60 triliun menjadi Rp 20 triliun. Kalau masih tekor Rp 20 triliun, kok bisa menyantuni kaum miskin sebesar Rp 17,9 triliun? Inilah yang membuat sebagian anggota DPR sangat berkeinginan menggunakan hak angketnya supaya mempunyai gambaran yang menyeluruh dan sebenarnya.
Memang ruwet sekali, karena jenis-jenis produk dari minyak mentah yang demikian banyaknya, belum lagi derivatifnya. Oleh sebab itu, penghargaan kita menjadi berlipat ganda buat para anggota DPR yang ingin mengetahui segala sesuatunya melalui hak angket.
Asas Kas atau asas Akrual?Keanehan lain. Pos "Penerimaan BBM" dalam APBN adalah kuantitas dikalikan dengan harga minyak di pasar internasional yang tidak akan pernah diterima oleh pemerintah. Mengapa? Karena harga yang berlaku di Indonesia ditetapkan oleh pemerintah dengan harga yang jauh lebih rendah. Oleh sebab itu, untuk mengimbanginya, dicantumkan angka di sisi pengeluaran APBN dengan pos yang bernama "Subsidi BBM".
Dengan sendirinya pos "Subsidi BBM" juga angka yang tidak pernah akan dikeluarkan. Cara penyusunan APBN seperti ini menyalahi prinsip cash basis.
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 36 memang diindikasikan akan diberlakukan basis akrual, tetapi sebagai peraturan peralihan dengan tenggang waktu lima tahun.
Saya kira sekarang masih belum diberlakukan dengan peraturan pelaksanaannya.
Pasal 36 merujuk pada Pasal 1 Nomor 13, 14, 15, dan 16 yang dinyatakan sebagai sistem akrual. Bunyi Pasal 1 Nomor 13: "Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih".
Harga yang berlaku di pasar dunia bukan hak pemerintah karena pemerintah menetapkan sendiri yang menjadi haknya untuk bensin premium Rp 2.400 per liter. Bukan Rp 3.240 per liter kalau didasarkan atas harga minyak mentah di pasar New York sebesar 50 dollar AS per barrel dan 1 dollar AS dianggap sama dengan Rp 8.600.
UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara tidak mampu merumuskan dan menjabarkan asas Kas dan asas Akrual yang benar karena kacaunya pikiran para pembuat undang-undang dalam kaitannya dengan arti kata "subsidi" untuk migas.
Impor netoSering dijelaskan bahwa tekor sampai Rp 60 triliun itu betul-betul pengeluaran uang karena kita harus mengimpor minyak mentah maupun bensin. Jumlah produksi kurang dibandingkan dengan jumlah konsumsi. Memang, tetapi tidak 100 persen dari kebutuhan diimpor.
Yang diimpor adalah selisih antara produksi yang merupakan hak pihak Indonesia dan konsumsi. Namun, jumlah yang harus dikeluarkan ini diimbangi dengan jumlah kelebihan uang dari seluruh produksi yang menjadi hak pihak Indonesia. Kalau sekadar sebagai contoh kita mengacu pada bensin premium, untuk setiap liternya pemerintah kelebihan uang sebesar Rp 1.860 seperti telah dijelaskan tadi (Rp 2.400 dikurangi Rp 540).
Berapa persisnya kelebihan uang ini dan berapa persisnya uang yang dibutuhkan untuk impor tidak pernah dibeberkan, betapapun ruwetnya, karena produk-produk dari minyak mentah yang begitu banyaknya.