Wednesday, December 21, 2005

Subsidi BBM?... ah bosen dengernya...

oleh: Awang Riyadi

Sejak beberapa tahun terakhir, mungkin lebih tepat sejak krisis ekonomi melanda Indonesia. sejak IMF menjadi dokter yang diakui sendiri telah salah mendiagnosa penyakit negara ini. sejak saat itu.... isu masalah subsidi menjadi ramai dibicarakan. Yang terbaru adalah tentang "subsidi" BBM yang akan saya coba bahas sedikit sekaligus menanggapi tulisan i baridwan di mailist esdm.

Subsidi yang bukan Subsidi
Sebelum jauh melangkah kita sebaiknya sepakat dengan definisi subsidi terlebih dahulu. Pengertian sederhana yang dimaksud subsidi adalah tanggungan selisih negatif dari harga jual dikurangi harga produksi. Jadi kalo kita buat pecel menghabiskan biaya total 1000 rupiah kemudian kita menjual dengan harga 700 rupiah, berarti kita mensubsidi produk pecel tadi sebanyak 300 rupiah per unitnya.

Mari kita lihat dalam kasus "subsidi BBM" di Indonesia. Benarkah pemerintah sebagai penentu harga jual BBM memberikan subsidi? Setahu saya sampai saat ini masih belum ada transparansi besaran HPP (harga pokok produksi) BBM dari pertamina sebagai pemegang hak monopoli penyediaan BBM. Bahkan seorang kepala BAPPENAS (sekarang sudah mantan yaitu Kwik Kian Gie) kesulitan mendapatkan besaran yang sesungguhnya. Dengan demikian tidak bisa kita mengatakan bahwa pemerintah mensubsidi harga BBM karena biaya produksinya-pun tidak diketahui, bagaimana mungkin bisa dibandingkan dengan harga jualnya?

Ternyata yang selama ini disebut sebagai "subsidi BBM" adalah selisih hitungan dalam APBN antara pos "Penerimaan BBM" yang dihitung dengan cara mengalikan harga minyak di pasar internaional dengan kuantitas -yang sebenarnya tidak pernah diterima oleh pemerintah- dengan harga yang berlaku di Indonesia (yang lebih rendah) yang ditetapkan oleh pemerintah kali kuantitas. Karenanya, untuk membuatnya balance dimunculkan pos pengeluaran yang bernama "SUBSIDI BBM".

Ibarat pecel tadi. Anggaplah ibu kita buat pecel dan kalo dijual di pasar bisa laku 3000. Tetapi karena dimakan sendiri kita kasih ke ibu uang belanja untuk membuat pecel sebesar 2000. Nah selisih sebesar 1000 inilah yang kalo dianalogikan dengan BBM dapat disebut sebagai "Subsidi Pecel" yang harus ditanggung ibu. Subsidi ini hanya berupa opportunity cost bukan cash out. Kalo dijual di pasar ibu dapat duit lebih banyak daripada dimakan sendiri dan ibu sama sekali tidak mengeluarkan uang 1000 untuk mensubsidi kita. Hanya saja pendapatan ibu menjadi berkurang dibanding kalo dijual di pasar. Begitulah kira-kira gambaran "Subsidi BBM" yang terjadi di Indonesia. Sebuah kerancuan... Subsidi yang bukan Subsidi.

Ok lah, sekarang coba kita hitung2an sederhana. Meniru hitungannya Kwik, anggaplah harga minyak dunia 50$ per barrel (159 liter). Menurut beberapa sumber, biaya pengangkatan minyak (x), biaya pengolahan BBM (y) dan biaya distribusi (z) total sekitar 10$ - 12$. Anggaplah x+y+z = 12$; 1$ = Rp 10.000; maka untuk menghasilkan BBM per liter dibutuhkan biaya (1 barrel minyak mentah menghasilkan sekitar 180 liter BBM karena proses cracking) sebesar Rp. 120.000/180 = Rp.667. Bensin di dalam negeri (sebelum naik) dijual seharga Rp 2.400,-, jadi untuk menghasilkan 1 liter bensin di Indonesia pemerintah mendapatkan cash Rp 2.400 - Rp 667 = Rp 1.733,- . Harga BBM di luar negeri dapat kita hitung (50xRp 10.000)/180 + Rp 667 = Rp 3.445,-. Jadi untuk setiap liter bensin yang dijual untuk kepentingan masyarak Indonesia sendiri, pemerintah kehilangan kesempatan mendapatkan cash Rp 3.445 - Rp 1.733 = Rp 1.712. Sama sekali pemerintah tidak rugi dengan menjual bensin seharga Rp 2.400 yang berarti tidak ada subsidi!!!

*

BBM-ku sayang, BBM-ku Malang...

oleh: i baridwan
27 Oktober 2005, 20:59:47
"Nah, dari artikel diatas ane pribadi berpikir lebih baek mempersempit “celah” walau dgn akibat menjeritnya sebagian besar rakyat Indonesia. Kalkulasi mengatakan seandainyapun semua Dana Kompensasi di korup, nilainya masih kecil jk dibandingkan penyalahgunaan dr disparsitas harga BBM tsb."



Akhir-akhir ini ane sering menyaksikan berita di TV ttg dampak kenaikan BBM bagi masyarakat khususnya bagi kaum proletar. Yg menarik adanya berita meningkatnya pasien RS jiwa gara-gara kenaikan BBM, dan kita (entah terpaksa atau scr refleks) harus mengelus dada menyaksikan penderitaan mereka (sesuai skenario yg di harapkan???), berlanjut membuat kita semakin antipati terhadap kebijakan kenaikan BBM SBY-JK, yg tdk pro rakyat krn mengurangi subsidi BBM??

Mari kita berandai-andai seandainya tgl 1 Oktober kemaren subsidi BBM tdk dikurangi shg harga BBM(Premium, Kerosin, Solar) masih murah meriah. Akibatnya disparsitas harga BBM subsidi dgn BBM industri (BBM harga pasar) cukup besar, menyebabkan tjdnya penyelundupan, pengoplosan dll.

Berikut cuplikan berita-berita jikalau disparsitas harga BBM subsidi dan BBM industri dan atau harga pasar terlalu tinggi.

Di KalSel, sopir-sopir truk pengangkut batu bara rela antri berjam-jam di SPBU utk mendptkan solar, solar tsb nantinya akan dijual ke industri batubara dgn harga Rp.4000/liter. Pdhal di SPBU harga hanya Rp 2.200/liter. Jika satu tangki truk bisa menampung 75 liter, berarti keuntungan yg bisa diraup pertangkinya sebesar Rp 135rb, lbh banyak jika dibandingkan truk itu mengangkut batubara dari pagi sampai malam yg hanya mendptkan uang Rp 60rb. Buat kalangan industri, praktek jual-beli ini menguntungkan, sebab jk membeli solar langsung dr pertamina, harganya jauh lebih tinggi, Rp 5.350.

Praktek serupa dgn modus berbeda biasa dilakukan para nelayan di sejumlah perairan tempat lalu lintas minyak, spt di jambi, bitung, dan batam. Banyak nelayan yg kini tak lagi melaut mencari ikan. Mereka malah sibuk antre beli solar dr SPBU yg khusus disediakan pemerintah bagi para nelayan. Bahan bakar tsb ditaruh dlm drum, lantas dijual ke kapal-kapal yg sedang buang sauh dgn harga lbh tinggi, utk kmd diselundupkan ke luar negeri. (Tempo, 25 Sept 05, hlm 122-123).

Cuplikan berita majalah diatas nilainya blm seberapa jk dibandingkan dgn yg tjd sesungguhnya di lapangan (fenomena gunung es), dan (walau saya tdk punya sama sekali bukti) saya yakin buanyak aparat keparat (yg smg cepat sekarat) serta cukong-cukong yg mengeruk keuntungan scr ilegal krn memang terbukanya lebar-lebar celah dan kesempatan utk itu (disparsitas harga dan mental koruptor anak negeri).

Nah, dari artikel diatas ane pribadi berpikir lebih baek mempersempit “celah” walau dgn akibat menjeritnya sebagian besar rakyat Indonesia. Kalkulasi mengatakan seandainyapun semua Dana Kompensasi di korup, nilainya masih kecil jk dibandingkan penyalahgunaan dr disparsitas harga BBM tsb.

Dan jg subsidi hanya membuat anak bangsa mjd manja, ane penganut teori survival of live, anak bangsa yg ingin survive dikehidupan haruslah dan wajib mengarungi samudera kehidupan maupun cobaan dgn tegar dan jantan, bagi yg loyo dan lemah mentalnya smg tersingkirkan, teori “gabah diinteri”(orang jawa bilang).

Walau kita tdk boleh lengah jg krn penghapusan subsidi BBM yg berakibat harga BBM mjd kompetitif (baca mahal) utk kedepan salah satunya memang diharapkan agar para investor tertarik utk berinvestasi di sektor hilir (pengilangan dan pendistribusian BBM/SPBU-SPBU swasta), dgn memanfaatkan mental konsumtif warga di dunia ketiga.

Yg hrs mjd perhatian kita sekarang adl kegiatan sektor hulu migas (eksplorasi dan produksi/eksploitasi Migas dr perut ibu pertiwi). Semisal Blok Cepu yg ....... Ane agak kecewa ktk tjd penandatanganan kontrak Blok Cepu antara Pertamina-BP Migas-Exxon, pd saat acara tanya jwb dgn wartawan pertanyaan ttg blok Cepu malah sedikit & kurang berbobot bahkan kmd dilanjutkan pertanyaan seputar kenaikan harga BBM??? Pdhal ada ungkapan hilir itu peanut dibanding hulu, bisa dilihat dr perbandingan realisasi investasinya yg njomplang! Ato para wartawan sdh jemu dgn mslh Cepu yg beritanya tdk layak jual dan lebih laku berita ttg BBM. Teringat daku akan ucapan Travolta dlm film The Sword Fish :”apa yg dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, akan dipercaya oleh otak”.

Merdeka

*

Fundamental Kebijakan BBM

14-Mar-2005; 10:54 - mel

Sumber: Kompas
Kwik Kian Gie - Pengamat Ekonomi


HARGA BBM sudah dinaikkan. Harapannya sekarang supaya harga yang sudah naik ini sementara berlaku untuk waktu yang relatif lama sehingga atas dasar harga yang baru dunia usaha sudah bisa melakukan kalkulasi dan membuat perencanaan bisnisnya. Syukur kalau ada jaminan pemerintah tidak akan menaikkannya lagi sampai tahun 2009. Mungkinkah itu?

BERKALI-kali saya beserta banyak orang mempertanyakan apa relevansinya harga minyak dunia dengan harga yang dikenakan kepada konsumen rakyat Indonesia yang memiliki sendiri minyaknya? Kalau pemerintah konsisten dengan titik tolak pikir bahwa harga bahan bakar minyak (BBM) harus dibawa sampai sepenuhnya sama dengan yang terbentuk di pasar internasional, jelas tidak akan ada kepastian, apakah harga BBM tidak akan naik lagi kalau harga minyak dunia meningkat terus.

Ada baiknya kita mempertanyakan hal-hal mendasar sejak sekarang agar ada pegangan untuk kebijakan di masa mendatang.

Minyak mentah tidak dihargai nol.
Pertama, perlu diluruskan adanya pandangan bahwa harga minyak mentah Indonesia dihargai nol kalau tidak mengacu pada harga minyak dunia. Ini tidak benar. Ketika harga bensin premium masih Rp 1.810 per liter, harga minyak mentahnya dihargai Rp 1.270 per liter, yaitu harga konsumen yang Rp 1.810 per liter dikurangi dengan biaya lifting, pengilangan, dan transportasi sebesar Rp 540 per liter. Setelah dinaikkan menjadi Rp 2.400 per liter, maka minyak mentahnya dihargai Rp 1.860 per liter. Tidak nol!

Mekanisme pasar yang mana?

Dikatakan bahwa kalau sistem ekonomi yang kita anut bukan sistem ekonomi komunis, semua barang dihargai dengan harga yang terbentuk melalui mekanisme pasar. Jelasnya, harga adalah titik perpotongan antara kurva permintaan dan kurva penawaran. Seperti kita ketahui, kurva permintaan dan kurva penawaran ditentukan dari semua yang berminat membeli dan semua yang berminat menjual.
Dari massa titik-titik para pembeli itu ditentukan garis tengahnya. Itulah kurva permintaan.

Demikian juga dengan pembentukan kurva penawaran. Pertanyaannya, di mana kurva permintaan dan kurva penawaran itu dikompilasi guna menentukan titik potongnya? Di New York. Adakah minyak mentah Indonesia yang diperdagangkan di sana? Praktis tidak ada, karena produksi minyak Indonesia seluruhnya sudah kurang untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya sendiri. Berapa dari jumlah produksi minyak mentah seluruh dunia yang diperdagangkan di New York? Hanya 30 persen. Yang 70 persen dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan raksasa minyak dari hulu sampai hilir.

Kita tahu ada banyak bentuk pasar, antara lain perfect competition, monopolistic competition, oligopoli, duopoli, dan monopoli. Bentuk pasar di New York mirip dengan perfect competition. Bentuk pasar minyak di Indonesia jelas monopoli, dan monopoli itu diberikan kepada Pertamina, dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah.

Harga yang ditentukan oleh pemerintah bukan harga yang setinggi-tingginya sebagaimana layaknya monopolis partikelir. Justru sebaliknya, pemerintah menetapkan harga yang serendah-rendahnya supaya terjangkau oleh rakyat banyak yang masih miskin dan sangat rendah daya belinya.

Jadi, kedudukan monopoli pemerintah tidak dipakai untuk memperoleh laba maksimal, tetapi dipakai untuk menjalankan fungsi sosialnya sesuai dengan jiwa dan amanat Pasal 33 UUD kita. Karena itu, kurva penawarannya tidak dapat digambar seperti yang ada dalam buku teks karena perilakunya bukan profit maximisation.

Mengapa tim ekonomi di pemerintahan lantas bersikap dan berperilaku seperti monopolis partikelir? Lantas melupakan fungsi sosialnya dalam penetapan harga minyak yang miliknya rakyat?

Bukankah buat migas produk Indonesia yang bekerja bukan invisible hands-nya mekanisme pasar, tetapi invisible hands-nya kekuatan politik, kepentingan dan ideologi?

Saya paham supaya hasil penjualannya yang lebih besar dapat dipakai untuk tujuan-tujuan baik juga buat rakyat. Tetapi, siapa yang menentukan prioritas bahwa pemerintah sebaiknya menggencet rakyat dalam hal minyak supaya dapat memanjakannya dalam bidang pendidikan dan kesehatan?

Jadi, dengan kebijakan yang diprotes rakyat banyak, pemerintah justru ingin memperbesar keadilan.

Keadilan

Dikatakan yang menikmati bensin terlampau murah hanya orang kaya. Ini tidak betul. Bagian terbesar dari kendaraan yang mengonsumsi premium adalah sepeda motor, bajaj, mikrolet, pick up dan truk pengangkut barang, angkot, ojek, dan masih banyak lagi orang miskin atau kelompok yang berpendapatan pas-pasan. Orang kaya memakai bensin pertamax dan pertamax plus.

Kalau mau adil, jelas, konkret, dan tepat sasaran, mobil sedan dan MPV trendy dengan kapasitas di atas cc tertentu dipajaki setinggi-tingginya. Mengapa lantas menjadi tambal sulam? Rakyat digencet, terus diobati dengan apa yang dinamakan kompensasi.

Yang digencet perutnya sampai menjadi lapar, obatnya pendidikan dan pelayanan kesehatan murah. Buat orang yang terlampau miskin dan lapar, pendidikan menjadi abstrak, betapapun pentingnya untuk jangka panjangnya. Dan orang yang terlampau miskin, dengan pendidikan yang membaik, jangka panjangnya akan mati di tengah jalan karena kelaparan.

Pelayanan kesehatan murah memang diberikan, tetapi mengapa dibuat tidak sehat terlebih dahulu dengan disuruh kekurangan makan karena naiknya harga barang-barang kebutuhan pokoknya ?

Arti kata "subsidi"

Karena secara fundamentalis harus ikut dengan mekanisme pasar di New York, selisih harga antara pasar New York dan harga yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia disebut subsidi. Ini membawa kebingungan lagi. Walaupun harga bensin ditetapkan sangat rendah, tetapi tidak berarti harga minyak mentah dihargai nol.

Dengan harga yang sekarang berlaku untuk bensin premium sebesar Rp 2.400 per liter, harga minyak mentahnya dihargai Rp 1.860 per liter. Dengan sendirinya pemerintah memperoleh kelebihan uang tunai sebesar Rp 1.860 per liter untuk setiap liter bensin premium yang digali dari bumi Indonesia sendiri. Maka, istilah "subsidi" tidak sama dengan uang keluar.

Tetapi, karena kata "subsidi" lazimnya berarti ada uang keluar, sadar atau tidak, pemerintah menjadi percaya bahwa subsidi identik dengan pengeluaran uang. Ini mengakibatkan ucapan yang sangat aneh dan membingungkan.

Pernyataan pemerintah terakhir berbunyi: "Kalau harga bensin tidak dinaikkan, pemerintah tekor sekitar Rp 60 triliun. Tetapi, kalau harga bensin dinaikkan, pemerintah bisa memberikan santunan kepada kaum miskin dengan jumlah Rp 17,9 triliun".

Mari kita telaah kalimat tersebut. Harga bensin premium sudah dinaikkan dari Rp 1.810 menjadi Rp 2.400 per liter. Apakah dengan kenaikan ini pemerintah sudah kelebihan uang sebesar Rp 17,9 triliun atau lebih yang digunakan untuk menyantuni kaum miskin?

Saya bertanya kepada banyak orang yang menganut faham bahwa subsidi identik dengan uang keluar. Mereka mengatakan, dengan harga bensin premium Rp 2.400 per liter, keuangan pemerintah masih tekor. Hanya tekornya tidak lagi Rp 60 triliun.

Katakanlah tekornya yang tadinya Rp 60 triliun menjadi Rp 20 triliun. Kalau masih tekor Rp 20 triliun, kok bisa menyantuni kaum miskin sebesar Rp 17,9 triliun? Inilah yang membuat sebagian anggota DPR sangat berkeinginan menggunakan hak angketnya supaya mempunyai gambaran yang menyeluruh dan sebenarnya.

Memang ruwet sekali, karena jenis-jenis produk dari minyak mentah yang demikian banyaknya, belum lagi derivatifnya. Oleh sebab itu, penghargaan kita menjadi berlipat ganda buat para anggota DPR yang ingin mengetahui segala sesuatunya melalui hak angket.

Asas Kas atau asas Akrual?

Keanehan lain. Pos "Penerimaan BBM" dalam APBN adalah kuantitas dikalikan dengan harga minyak di pasar internasional yang tidak akan pernah diterima oleh pemerintah. Mengapa? Karena harga yang berlaku di Indonesia ditetapkan oleh pemerintah dengan harga yang jauh lebih rendah. Oleh sebab itu, untuk mengimbanginya, dicantumkan angka di sisi pengeluaran APBN dengan pos yang bernama "Subsidi BBM".

Dengan sendirinya pos "Subsidi BBM" juga angka yang tidak pernah akan dikeluarkan. Cara penyusunan APBN seperti ini menyalahi prinsip cash basis.

Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 36 memang diindikasikan akan diberlakukan basis akrual, tetapi sebagai peraturan peralihan dengan tenggang waktu lima tahun.

Saya kira sekarang masih belum diberlakukan dengan peraturan pelaksanaannya.

Pasal 36 merujuk pada Pasal 1 Nomor 13, 14, 15, dan 16 yang dinyatakan sebagai sistem akrual. Bunyi Pasal 1 Nomor 13: "Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih".

Harga yang berlaku di pasar dunia bukan hak pemerintah karena pemerintah menetapkan sendiri yang menjadi haknya untuk bensin premium Rp 2.400 per liter. Bukan Rp 3.240 per liter kalau didasarkan atas harga minyak mentah di pasar New York sebesar 50 dollar AS per barrel dan 1 dollar AS dianggap sama dengan Rp 8.600.

UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara tidak mampu merumuskan dan menjabarkan asas Kas dan asas Akrual yang benar karena kacaunya pikiran para pembuat undang-undang dalam kaitannya dengan arti kata "subsidi" untuk migas.

Impor neto


Sering dijelaskan bahwa tekor sampai Rp 60 triliun itu betul-betul pengeluaran uang karena kita harus mengimpor minyak mentah maupun bensin. Jumlah produksi kurang dibandingkan dengan jumlah konsumsi. Memang, tetapi tidak 100 persen dari kebutuhan diimpor.

Yang diimpor adalah selisih antara produksi yang merupakan hak pihak Indonesia dan konsumsi. Namun, jumlah yang harus dikeluarkan ini diimbangi dengan jumlah kelebihan uang dari seluruh produksi yang menjadi hak pihak Indonesia. Kalau sekadar sebagai contoh kita mengacu pada bensin premium, untuk setiap liternya pemerintah kelebihan uang sebesar Rp 1.860 seperti telah dijelaskan tadi (Rp 2.400 dikurangi Rp 540).

Berapa persisnya kelebihan uang ini dan berapa persisnya uang yang dibutuhkan untuk impor tidak pernah dibeberkan, betapapun ruwetnya, karena produk-produk dari minyak mentah yang begitu banyaknya.

Subsidi BBM tidak sama dengan uang keluar, tapi mesti ditekan

Oleh: Hanan Nugroho (Bappenas)

Tulisan Kwik Kian Gie Apakah subsidi BBM sama dengan uang keluar? (Bisnis, 22/11/04) memberikan pemahaman sangat baik, menekankan bahwa issue itu mesti dibahas lebih komprehensif. Mekanisme penyediaan BBM di Tanah Air diilustrasikan menarik, termasuk biayanya.

Wacana mengenai subsidi BBM yang diungkapkan pejabat pemerintah/politisi sering berat sebelah, membesarkan sisi subsidi dan mengabaikan penerimaan migas. Pengertian subsidi BBM itu sendiri, mekanisme penyediaan BBM, akuntansi perdagangan minyak Pemerintah dan Pertamina tidak diungkap jelas. Pak Kwik membuat lebih terang.

Tulisan ini melengkapi, menjawab pertanyaan, dan mengkritik tulisan Pak Kwik tersebut.

Sedang tergelincir

Data "Penerimaan Migas" (sisi penerimaan APBN) dan "Subsidi BBM" (sisi pengeluaran APBN) menunjukkan perdagangan migas Indonesia selalu surplus. Penerimaan migas lebih besar daripada subsidi BBM bahkan sejak angka subsidi itu membengkak pasca krisis ekonomi 1998, dan ketika harga minyak dunia membumbung belakangan. Benar, tidak terjadi net outflow dari perdagangan minyak bumi Indonesia.

Namun, flow pembayaran ke LN untuk kebutuhan penyediaan BBM di Tanah Air itu terjadi dan kian membesar. Pertama, buat mengimpor minyak mentah untuk dikilang di dalam negeri menghasilkan BBM. Kedua, untuk mengimpor BBM (minyak tanah, solar, bensin).

Konsumsi BBM kita terus naik, sekitar 5 persen/tahun. Peningkatan konsumsi tidak diikuti peningkatan kapasitas kilang. Produksi minyak mentah kita telah lama mencapai puncaknya. Kini sumur-sumur tua yang masih menjadi andalan menyisakan produksi yang terus menurun.

Merosotnya produksi telah menurunkan kemampuan kita untuk mengekspor minyak mentah. Di sisi lain, meningkatnya konsumsi BBM membutuhkan tambahan impor. Kombinasi ini belum lama menggelincirkan kita menjadi net importer.

Ketergantungan kita pada impor minyak mentah (crude oil), BBM (oil base fuels) maupun produk minyak lainnya (oil products) membesar. Belakangan, ketergantungan itu sekitar 35 persen untuk minyak mentah dan 25 persen untuk BBM.

Membumbungnya harga minyak bumi dunia membengkakkan subsidi BBM. Ditegaskan Pak Kwik, ini tidak menjadi beban APBN karena saat yang sama pendapatan eskpor minyak (dan gas) juga meningkat. Benar, namun kondisi ini bisa berlanjut hanya bila rasio ketergantungan impor minyak kita masih sehat.

Peningkatan ketergantungan pada impor ini yang mengkhawatirkan. Apalagi bila tidak dijawab dengan manajemen produksi dan konsumsi minyak bumi nasional yang makin baik.

Di tengah situasi harga BBM ditentukan Pemerintah pada tingkat lebih rendah dibandingkan biaya penyediaannya, posisi sebagai net importer dan meroketnya ketergantungan impor bukan mustahil akan membuat perdagangan minyak bumi kita menghasilkan net outflow secara finansial. Dalam kondisi seperti ini (yang mudah-mudahan tidak kita jumpai), APBN memang bisa "jebol".

Pasar minyak RI

Benar, tidak tepat menggambarkan pasar minyak Indonesia dengan situasi di bursa NYMEX. Pasar minyak mentah dunia mengenal 3 marker: WTI mewakili Amerika Utara diperdagangkan di NYMEX (New York), Brent mewakili Eropa di IPE (London) dan Dubai mewakili Timur Tengah/Asia. Urutan mahalnya harga adalah WTI, Brent, dan Dubai.

Bagian terbesar impor minyak mentah Indonesia adalah ALC (arabian light crude), yang murah. Sejak 1980-an ALC tak lagi diperdagangkan di pasar spot. Persaudaraan di OPEC memungkinkan kita mendapatkan minyak mentah dengan harga khusus. Sebagian besar kebutuhan minyak mentah Tanah Air dipenuhi dari produksi sendiri. Impor BBM dilakukan dari bursa/bunker BBM Singapura dan kadang Timur Tengah. Jelas, NYMEX tidak mencerminkan pasar minyak Indonesia.

Tantangan bagi pasar monopoli BBM Indonesia adalah UU Migas 22/2001 yang mengamanatkan unbundling, liberalisasi sektor hilir dan penghapusan subsidi. Kewajiban Pertamina untuk menyediakan BBM di Tanah Air diakhiri November 2005. Ini akan menimbulkan ketidakstabilan pasar.

Subsidi BBM harus ditekan

Subsidi BBM dipraktekkan mayoritas negara OPEC. Jepang dan Korsel dulu memberikan subsidi BBM (energi) untuk mendorong perkembangan industri mereka. Cina dan India masih mempraktekkan subsidi energi.

Kini Jepang dan Eropa Barat menerapkan pajak tinggi terhadap BBM. Membumbungnya harga minyak dunia beban konsumen negara industri itu, namun berkah bagi Pemerintah mereka. Pajak BBM digunakan untuk mengembangkan sumber energi alternatif, pemeliharaan lingkungan, dsb.

Reformasi pasar energi untuk menciptakan industri energi yang efisien dan sustainable belakangan dipraktekkan banyak negara berkembang. Penghapusan subsidi energi menjadi agenda prioritas. UU Minyak dan Gas Bumi 22/2001 dan UU Ketenagalistrikan 20/2002 jelas mewadahi semangat itu.

Dibandingkan negara OPEC lain, cadangan dan produksi minyak bumi Indonesia kecil, apalagi dibagi jumlah penduduk. Untuk kita, tidak tepat mengatakan sebagai negara penghasil minyak, Pemerintah seharusnya memberikan subsidi BBM.

Subsidi BBM di Indonesia pun mencuat baru sejak krisis 1998. Periode sebelumnya kita sering menikmati Laba Bersih Minyak, yaitu hasil penjualan BBM lebih besar dibandingkan biaya penyediaannya oleh Pertamina. Subsidi apapun sesungguhnya dapat diberikan kepada pelaku usaha, konsumen, maupun komoditi, namun hanya bila kebijakan itu punya manfaat ekonomi (sosial-politik), target waktu dan kelompok sasaran yang jelas.

Bahwa subsidi BBM di Indonesia mesti dikurangi didukung sejumlah alasan. Pertama, subsidi itu kini diragukan manfaat ekonominya. Data intensitas BBM menunjukkan konsumsi BBM kita sangat boros. Ini jelas pada sektor transportasi. Kedua, subsidi BBM kita tidak tepat sasaran. Lebih banyak dinikmati golongan kaya. Ketiga, harga BBM yang rendah, selain tidak mendorong efisiensi, rawan terhadap penyelundupan. Keempat, penyediaan BBM oleh perusahaan monopoli tidak transparan dan tidak efisien. Kelima, subsidi menghasilkan ketergantungan sangat tinggi pada BBM, tidak merangsang berkembangnya sumber energi non-BBM. Bagi Indonesia yang dikaruniai berbagai sumber energi -cadangan gas dan batubara lebih besar daripada minyak bumi- gejala ini jelas tidak sehat.


Daripada untuk subsidi, pendapatan migas dapat digunakan buat mengembangkan sektor migas sendiri, yang kini kegiatan eksplorasi, riset, maupun manajemen datanya menyedihkan. Apalagi, UU Propenas 25/2000 sudah mengamanatkan penghapusan subsidi BBM dapat dicapai 2004.

Sumber : Bisnis Indonesia (2 Desember 2004)

Perlunya Penghapusan Subsidi BBM

Jum`at, 22 Oktober 2004 10:36 WIB
Tanggapan atas tulisan Bapak Kwik Kian Gie

Sebagai pengamat permasalahan energi, saya sangat tergelitik membaca tulisan Bapak Kwik Kian Gie di harian Kompas tanggal 19 Oktober 2004, yang berjudul “Penghapusan Subsidi BBM Tidak Perlu!”. Untuk itu, khususnya kepada Bapak Kwik Kian Gie, perkenankan saya memberi tanggapan.

Subsidi BBM merupakan suatu persoalan mendasar dalam persoalan-persoalan keenergian di Indonesia. Pokok-pokok kebijakan energi yang ditetapkan pemerintah, khususnya dalam hal diversifikasi dan konservasi energi, tidak dapat berjalan akibat adanya subsidi BBM. Oleh karena itu, keberanian pemerintah dalam menggariskan penghapusan subsidi BBM merupakan angin segar bagi pengembangan sektor energi.

Dasar hukum penghapusan subsidi juga cukup kuat dan jelas, yaitu Undang Undang Propenas tahun 2000. Yang menyebutkan bahwa subsidi BBM ditargetkan berkurang secara bertahap hingga tahun 2004 subsidinya menjadi kurang dari 1% dari Produk Domestik Bruto. Demikian juga dalam Undang Undang Minyak dan Gas Bumi tahun 2001 disebutkan bahwa harga BBM diarahkan mengikuti harga keekonomiannya. Menurut saya, perdebatan mengenai perlu tidaknya penghapusan subsidi BBM merupakan suatu langkah mundur dan kontraproduktif terhadap sosialisasi penghapusan subsidi BBM.

Seperti kita ketahui, produksi minyak bumi Indonesia sejak tahun 1997 terus menurun, dengan penurunan rata-rata sekitar 5% per tahun. Pada tahun 1997 produksi minyak Indonesia sebesar rata-rata 1,58 juta barel per hari (1 barel = 159 liter), sedangkan pada tahun 2003 produksi rata-ratanya tinggal 1,13 juta bph (barel per hari).

Sangat ironis, di saat harga minyak dunia sedang meningkat, justru produksi minyak bumi Indonesia menurun. Kapasitas produksinya sudah mentok akibat tidak adanya investasi untuk menemukan cadangan baru atau investasi untuk meningkatkan teknologi pengangkatan minyak bumi. Bahkan pada bulan Mei 2004 diberitakan bahwa secara netto, Indonesia sudah merupakan negara pengimpor minyak bumi (net importer minyak bumi).

Apakah minyak bumi Indonesia sudah mulai habis? Tidak. Sumberdaya minyak bumi Indonesia masih cukup besar, yaitu 66 milyar barel, di mana sekitar 5 milyar barel di antaranya merupakan cadangan terbukti (Ditjen Migas, 2003). Yang diperlukan saat ini adalah iklim yang mendukung untuk mengusahakan minyak bumi agar dapat diproduksikan secara optimal.

Selama ini, Indonesia selain mengekspor minyak bumi juga mengimpor minyak bumi untuk kebutuhan kilang dalam negeri. Kilang dalam negeri pada saat ini berkapasitas 1 juta bph. Kapasitas ini tidak bertambah sejak tahun 1997. Untuk memenuhi kebutuhan minyak bumi bagi kilang domestik, sebagian minyak bumi berasal dari dalam negeri dan sebagian dari minyak bumi impor. Artinya, net importer minyak bumi (di luar impor BBM) akan terjadi bila produksi minyak bumi Indonesia kurang dari 1 juta bph.

Bila pada saat ini masih ada perdebatan sudah atau belum kah Indonesia menjadi net importer minyak bumi, maka kita tidak bisa mengelak bahwa secara total (minyak bumi dan BBM) Indonesia sudah menjadi net importer BBM sejak beberapa tahun terakhir. Kapasitas kilang minyak Indonesia tidak bertambah sejak tahun 1997, sedangkan pemakaian BBM terus meningkat. Pemakaian BBM pada tahun 2003 mencapai 60 juta KL (kilo liter) atau setara dengan 1 juta bph. Padahal, dari kapasitas kilang Indonesia sebesar 1 juta bph, BBM yang dapat diproduksikan hanya sekitar 0,8 juta bph dan sisanya merupakan produk non BBM (pelumas, LPG, bahan baku petrokimia, dan sebagainya). Jadi sekitar 20% dari BBM yang digunakan di dalam negeri berasal dari impor.

Jika sektor minyak bumi dan sektor BBM digabung, Indonesia defisit 12 juta KL (20% kali 60 juta KL). Untuk menutup defisit ini, paling tidak produksi minyak bumi Indonesia harus ditingkatkan menjadi 1,25 juta bph. Sementara itu, permintaan BBM akan masih terus tumbuh. Apalagi jika harga BBM tetap relatif lebih murah dari energi alternatifnya, sehingga penggunaan BBM secara besar-besaran tidak dapat dihindarkan.

Di sini lah letak masalahnya. Di saat harga minyak bumi dunia mencapai 50 dolar per barel, harga minyak tanah di dalam negeri adalah Rp 1.000 per liter (harga di titik penjualan Pertamina adalah Rp 700 per liter) dan harga minyak solar Rp 1.650 per liter. Padahal dengan kurs Rp 9.000/dolar, harga minyak mentahnya saja sudah Rp 2.850 per liter. Belum lagi ditambah biaya pengolahannya di kilang dan biaya transportasinya ke konsumen. Harga BBM sesungguhnya (tanpa subsidi) di konsumen rata-rata bisa mencapai Rp 3.000 per liter (biaya produksi untuk semua jenis BBM relatif sama).

Pada masa lalu, kenaikan harga minyak bumi dunia merupakan berkah bagi APBN, yang biasa disebut sebagai windfall profit. Tetapi pada saat ini, di mana selisih antara ekspor-impor minyak bumi semakin tipis dan di sisi lain subsidi harga BBM semakin besar, kenaikan harga minyak dunia justru akan berakibat menambah defisit APBN. Ini terlihat dari peningkatan defisit APBN 2004 sebesar Rp. 1,9 trilyun (dari sisi pengeluaran APBN: kenaikan subsidi BBM dari Rp 14,5 trilyun menjadi Rp 63 trilyun; dari sisi pendapatan APBN terdapat kenaikan pendapatan yang antara lain disebabkan kenaikan harga minyak dunia).

Dilihat dari pengertian istilah subsidi BBM, selama ini istilah tersebut diartikan sebagai selisih antara biaya produksi BBM oleh Pertamina dengan harga jual yang ditetapkan pemerintah. Di mana harga BBM ditetapkan mengikuti harga internasionalnya dengan diberikan batas atas dan batas bawah harga. Kecuali minyak tanah untuk rumah tangga yang ditetapkan sebesar Rp. 700/liter di titik pasok Pertamina. Batas atas harga minyak yang menurut APBN adalah $ 24/barel, dan pada saat ini harga rata-rata minyak bumi dunia sebesar $ 35/barel.

Menurut UU Migas 2004, tugas Pertamina (yang saat ini telah menjadi PT. Pertamina) sebagai pemasok BBM satu-satunya di Indonesia mulai tahun 2005 akan berakhir. Sehingga setelah tahun 2005, akan banyak pelaku usaha selain Pertamina di sisi hilir migas, khususnya dalam usaha pengolahan, pengangkutan, penimbunan, dan penjualan BBM. Dengan demikian asumsi (seperti disampaikan Bapak Kwik Kian Gie) bahwa minyak bumi Indonesia harus diolah di Indonesia secara teknis akan sulit dilaksanakan.

Di sisi hulu migas, pangsa Pertamina dalam memproduksi minyak bumi hanya sekitar 5% dari total produksi minyak bumi Indonesia, 95% lainnya diproduksi oleh kontraktor migas. Jika diasumsikan biaya produksi adalah 20% dari harga minyak bumi dan bagian kontraktor atas keuntungan (produksi – biaya) adalah 85%, maka pasokan minyak bumi domestik (produksi dikurangi biaya-biaya dan upah kontraktor) adalah 69% dari total produksi. Pada tabel berikut diperlihatkan hitungan ini, bila dianggap produksi minyak bumi total adalah 100 unit.

Seperti telah disebutkan di atas, Indonesia saat ini secara total (minyak bumi dan BBM) telah menjadi net importer. Sebagai ilustrasi, kita asumsikan posisi Indonesia adalah bukan importer dan bukan eksporter (artinya volume produksi sama dengan konsumsi). Dari produksi total 100 unit, 31 unit merupakan biaya dan hanya 69 yang dapat dipasok untuk memenuhi kebutuhan domestik. Sehingga perlu 31 unit minyak bumi impor.

Bapak Kwik mengatakan untuk minyak bumi domestik rakyat hanya perlu membayar BBM Rp. 500/liter, sebagai ongkos kilang dan transportasi BBM. Baik, asumsi ini akan kita gunakan. Tapi bagaimana dengan bagian minyak bumi impor? Tentu saja harus kita bayar sesuai harganya, kita asumsikan saja dengan angka yang sangat moderat sebesar Rp. 2.500/liter. Sehingga kita peroleh rata-rata tertimbangnya adalah Rp. 1.128/liter.

Harga BBM Rp. 500/liter seperti dinyatakan pak Kwik menganggap harga minyak bumi domestik adalah Rp. 0/liter. Bila kita taruh suatu harga tertentu (yang lebih dari nol), tentu saja harga rata-rata tertimbangnya lebih dari Rp. 1.128/liter. Harga BBM tertimbang riil yang terjadi saat ini adalah Rp. 1.450/liter. Pada tingkat harga ini, berarti harga minyak bumi domestik kita hargai Rp. 500/liter. Bila kita pakai asumsi harga BBM yang sesuai harga keekonomiannya adalah Rp. 2.500/liter, maka subsidi BBM per liternya adalah Rp. 1.050 (konsumsi kita sekitar 60 KL, jadi total subsidi BBM adalah Rp. 60-an trilyun).

Dengan ilustrasi di atas dapat dilihat bahwa harga minyak bumi internasional jelas akan mempengaruhi harga BBM domestik. Terutama karena kita tidak bisa lagi swasembada minyak bumi.

Saya rasa, hal ini merupakan salah satu alasan kuat mengapa perlu ada kebijakan penghapusan subsidi BBM. Di samping berbagai alasan lain yang tak kalah kuatnya, seperti penyalahgunaan BBM (pemborosan, pengoplosan dan penyelundupan), subsidi salah sasaran, serta tidak berkembangnya pemanfaatan energi selain minyak bumi.

Penulis:
Oetomo Tri Winarno
Pengamat Permasalahan Energi

Menaikkan Harga Bensin Premium

Oleh: Kwik Kian Gie

JUDUL tulisan ini tidak seperti lazimnya, yaitu "Mencabut Subsidi BBM". Mengapa? Pertama, lebih dimengerti rakyat jelata menggunakan istilah "bensin" ketimbang bahan bakar minyak atau BBM. Kedua, dengan harga bensin premium yang berlaku sekarang, yaitu Rp 1.810 per liter, pemerintah sama sekali tidak memberi subsidi. Sebaliknya, pemerintah memperoleh kelebihan uang tunai.

MINYAK mentah yang ada di bawah permukaan bumi disedot sampai ke atas permukaan bumi. Untuk itu ada biayanya, yaitu Rp X per liter. Minyak mentah yang sudah ada di atas permukaan bumi diproses sampai menjadi bensin. Biayanya Rp Y per liter. Bensin itu harus diangkut ke pompa-pompa bensin. Biayanya Rp Z per liter. Rp X + Rp Y + Rp Z = 10 dollar AS per barrel. Satu barrel sama dengan 159 liter. Kalau nilai tukar rupiah satu dollar AS sama dengan Rp 8.600, maka keseluruhan biaya untuk 1 liter adalah (10 x Rp 8.600) : 159 = Rp 540,88, dibulatkan menjadi Rp 540 per liter. Seperti kita ketahui, bensin premium dijual dengan harga Rp 1.810 per liter. Jadi, untuk setiap penjualan satu liter bensin premium, pemerintah kelebihan uang sebanyak Rp 1.270, yaitu kemasukan uang dari menjual bensin sebanyak Rp 1.810 per liternya dikurangi dengan pengeluaran uang sebanyak Rp 540 itu tadi.

Ditinjau dari sudut keluar masuknya uang, pemerintah kelebihan uang tunai. Mengapa dikatakan pemerintah memberi subsidi ?

Pengertian subsidi

Pemerintah merasa memberi subsidi kepada rakyat yang membeli bensin premium karena seandainya bensin premium itu dijual di luar negeri, saat ini harganya 50 dollar AS per barrel. Dengan kurs yang sama, yaitu Rp 8.600 per dollar AS, harga minyak mentah di luar negeri per barrel sebesar 50 x Rp 8.600 = Rp 430.000. Per liternya dibagi 159 atau sama dengan Rp 2.704,4, dibulatkan menjadi Rp 2.700. Ini harga minyak mentah di luar negeri. Kalau dijadikan bensin, ditambah dengan tiga biaya itu tadi, yakni biaya penyedotan, pengilangan, dan transportasi yang keseluruhannya berjumlah Rp 540 per liter, maka harga bensin di luar negeri Rp 2.700 + Rp 540 = Rp 3.240 per liter.

Selisih harga bensin di luar negeri yang Rp 3.240 per liter dengan harga bensin di Indonesia yang Rp 1.810 per liter ini, atau Rp 1.430 per liternya, ini disebut subsidi. Pemerintah merasa memberi subsidi karena tidak bisa menjual bensin dengan harga dunia, gara-gara adanya kewajiban memenuhi kebutuhan rakyatnya akan bensin premium dengan harga yang rendah, yaitu hanya Rp 1.810 per liternya.

Pemerintah jengkel, merasa sial benar tidak dapat menjual bensinnya di luar negeri dengan harga Rp 3.240 per liter. Seandainya tidak perlu menjual kepada rakyatnya sendiri dengan harga Rp 1.810, pemerintah akan memperoleh tambahan pendapatan sebesar selisihnya yang disebut "subsidi" itu tadi sebesar Rp 3.240 - Rp 1.810 atau Rp 1.430 per liternya. Bayangkan, berapa kesempatan yang hilang. Ya, kesempatan itulah yang hilang, bukan uang tunai.

Jadi, jelas kiranya, yang dinamakan subsidi itu pengertian abstrak yang sama sekali tidak berimplikasi adanya uang keluar. Dalam kenyataan pemerintah mendapatkan kelebihan uang. Hanya, kelebihannya tidak sebesar seandainya rakyat Indonesia diharuskan membeli bensin produksi dalam negeri dengan harga dunia.

Berapa kelebihan uang pemerintah?

Angkanya yang pasti tidak dapat saya peroleh karena saya tidak berhasil mendapatkan kuantitas minyak mentah yang menjadi haknya bangsa Indonesia.

Sekitar 92 persen dari minyak mentah kita disedot oleh kontraktor asing. Hasilnya dibagi antara kontraktor asing dan bangsa Indonesia yang memiliki minyak mentah karena terdapatnya di dalam perut bumi Indonesia. Perhitungannya ruwet sekali.

Yang sering kita dengar hanyalah kontrak bagi hasil antara pemerintah yang diwakili oleh Pertamina dan kontraktor asing dalam perbandingan 85 persen untuk bangsa Indonesia dan 15 persen untuk kontraktor asing. Tetapi, ada faktor-faktor lain yang membuat ruwet seperti apa yang dinamakan cost recovery, pro rata, dan in kind dasehingga kita sulit mendapatkan angkanya yang eksak. Maka, kita katakan saja minyak mentah yang menjadi haknya bangsa Indonesia netonya sebesar Q liter per tahunnya. Kelebihan uangnya per tahunnya ya Q liter dikalikan dengan Rp 1.270 itu tadi. Jumlah ini banyak sekali. Kalau kita andaikan bersihnya 70 persen dari produksi minyak mentah yang 1,125 juta barrel per hari hak bangsa Indonesia, ini sama dengan 70 persen x 1.125.000 barrel atau 787.500 barrel per hari atau 125.212.500 liter per hari, yaitu 787.500 barrel dijadikan liter dengan mengalikannya dengan 159 (1 barrel = 159 liter). Per tahunnya dikalikan 365 menjadi 45.702.562.500 liter. Kelebihan uang per liternya Rp 1.270. Jadi, kelebihan uang per tahunnya adalah 45.702.562.500 x Rp 1.270 atau Rp 58.042.254.375.000

Harus impor


Kebutuhan bensin kita 60 juta kiloliter per tahunnya atau 60.000.000.000 liter. Produksinya seperti kita lihat tadi, hanya 45.702.562.500 liter. Maka, kita harus impor sebesar 14.297.437.500 liter. Ini harus dibayar dengan harga dunia sebesar Rp 3.240 per liternya, atau Rp 46.323.697.500.000.

Jadi, ada kelebihan uang sebesar Rp 58.042.254.375.000. Tetapi, ada kebutuhan impor dengan jumlah uang sebesar Rp 46.323.697.500.000. Alhasil masih ada kelebihan uang sebesar Rp 11.718.556.875.000. Masih kelebihan uang

Jadi, walaupun sebagian dari kebutuhan bensin harus diimpor dengan harga dunia, masih ada kelebihan uang tunai sebesar Rp 11.718.556.875.000

Harga bensin terlampau murah

Apakah harga bensin premium yang Rp 1.810 per liternya itu tidak terlampau murah? Rasanya ya karena satu botol Coca Cola di restoran dijual Rp 10.000 sampai Rp 15.000. Maka, kalau mau dinaikkan memang pantas, asalkan kenaikannya tidak terlampau memberatkan.

Dengan menaikkan harga bensin premium, pemerintah memang mendapat pemasukan lebih besar yang dapat dipakai untuk tujuan-tujuan baik atau dikorupsi.

Tetapi, kalau dikatakan bahwa harga bensin premium tidak dinaikkan, pemerintah harus keluar uang sekitar Rp 10 triliun per bulannya jelas tidak betul. Yang betul malah kelebihan uang sebesar Rp 11,73 triliun per tahun.

Keseluruhan gambaran dari tulisan ini sangat amat disederhanakan dari kenyataan. Demikian juga angka-angkanya. Tulisan ini adalah model untuk mendapat pengertian yang sebenarnya. Jadi, bukan angka-angka eksak yang dipentingkan. Maksudnya hanya menjelaskan bahwa tanpa menaikkan harga bensin premium, pemerintah sudah kelebihan uang tunai dari keseluruhan eksploitasi minyak mentah untuk dijadikan bensin premium.

Apakah harganya terlalu rendah sehingga perlu dinaikkan adalah urusan lain lagi. Tetapi, jangan menakut-nakuti rakyat dengan mengatakan kalau tidak dinaikkan sampai harga dunia, pemerintah harus keluar uang Rp 10 triliun per bulannya, dan karena itu keuangan negara menjadi bangkrut.

Artikel ini hanya membahas bensin premium, belum bensin pertamax dan pertamax plus serta gas yang semuanya surplus lebih besar lagi

Kwik Kian Gie Mantan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencana Pembangunan Nasional

Penghapusan Subsidi BBM Tidak Perlu!

oleh : Kwik Kian Gie

KITA membaca dan mendengar bahwa semakin tinggi harga minyak di pasar internasional, semakin besar subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah.

Kita juga membaca bahwa karena harga minyak di pasar internasional meningkat terus secara tajam, asumsinya dalam APBN harus disesuaikan, yaitu dari 22 dollar AS per barrel menjadi 36 dollar AS per barrel. Selanjutnya dikatakan bahwa karena itu, jumlah subsidi membengkak dari Rp 14,5 triliun menjadi Rp 63 triliun, atau membengkak dengan jumlah Rp 48,5 triliun.

Yang membuat kening mengerut adalah lanjutan dari uraiannya yang mengatakan bahwa karena membengkaknya subsidi dengan angka yang demikian dahsyatnya itu, defisit APBN yang tadinya Rp 24,4 triliun meningkat menjadi Rp 26,3 triliun. Defisit meningkat dengan Rp 1,9 triliun (26,3-24,4).

Jadi, subsidi membengkak dengan angka Rp 48,5 triliun (63-14,5), tetapi defisitnya meningkat dengan Rp 1,9 triliun saja (26,3-24,4). Bagaimana mungkin? Ini hanya mungkin kalau subsidi tidak sama dengan pengeluaran uang. Kalau subsidi BBM yang meningkat dengan Rp 48,5 triliun mengakibatkan peningkatan defisit APBN yang hanya Rp 1,9 triliun, mengapa dikatakan bahwa APBN akan jebol sehingga pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpaksa harus menaikkan harga BBM?

Mari kita telaah masalahnya melalui tabel terlampir yang sangat disederhanakan. Gambaran yang akurat dan lengkap sangat rumit. Maksud tulisan ini hanyalah mendiskusikan apa yang dimaksud dengan kata subsidi dalam hal penyediaan BBM oleh Pertamina yang ditugasi oleh pemerintah.

Kita mengambil analogi dari istilah subsidi yang dipakai dalam konteks pemerintah memberikan subsidi kepada sekolah dan rumah sakit swasta. Di banyak negara pemberian subsidi oleh pemerintah kepada sekolah atau rumah sakit swasta yang bersifat nirlaba/nonprofit cukup lazim. Subsidi berarti sumbangan dalam bentuk uang tunai agar sekolah atau rumah sakit yang bersangkutan dapat menutup semua pengeluarannya yang lebih besar dari penerimaan.

Dalam hal BBM, lihat Tabel, subsidi tidak berarti uang keluar. Karena itu, istilah subsidi seharusnya diganti dengan istilah selisih antara harga internasional dengan harga yang ditetapkan/dipaksakan oleh pemerintah untuk diberlakukan kepada bangsanya sendiri.

Pemerintah Indonesia memberi penugasan kepada Pertamina untuk mengadakan/menyediakan BBM dengan harga konsumen yang ditentukan oleh pemerintah pula. Mengapa demikian? Karena Pertamina diberi hak monopoli oleh pemerintah untuk mengadakan BBM. Maka pasarnya berbentuk monopoli. Dalam pasar yang berbentuk monopoli, harga tidak ditentukan oleh mekanisme pasar pada titik perpaduan antara kurva permintaan dan kurva penawaran.

Berapa harga internasional untuk BBM? Kalau kita ambil harga 50 dollar AS per barrel dengan kurs 1 dollar AS sama dengan Rp 9.000, dan (seperti kita ketahui) maka harga 1 barrel minyak-atau setara dengan 180 liter-jatuhnya sebesar Rp 2.500 per liter.

Biaya pemrosesan ditambah dengan biaya transportasi kita ambil Rp 500 per liter. Harga BBM internasional menjadi Rp 3.000 per liter. Ini adalah perkiraan yang sangat kasar supaya kita mengetahui hal yang paling esensial dan masalah yang paling inti bisa terlihat.

Jadi, harga internasional untuk minyak mentah yang Rp 3.000 per liter dalam tabel adalah harga yang dibentuk oleh mekanisme pasar, yang merupakan perpaduan antara kurva permintaan dan kurva penawaran dari seluruh dunia, sepanjang minyak mentah itu diperdagangkan.

Volume yang diperdagangkan di pasar dunia hanya sekitar 30 persen dari volume minyak mentah yang diproduksi di seluruh dunia. Sisanya dari hulu sampai hilir dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan minyak, termasuk Pertamina dalam hal minyak Indonesia.

Kita bertanya apa relevansinya menyebut-nyebut harga internasional yang ditentukan oleh mekanisme pasar yang dianggap harga yang "sebenarnya". Ini bukan harga yang sebenarnya menurut teori pasar karena dua alasan. Pertama, karena bentuk pasarnya di Indonesia monopoli yang dikuasai oleh pemerintah sebagai pelaksana dari pemilik monopolinya, yaitu rakyat yang memiliki bumi, air, dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kedua, "harga yang sebenarnya" menurut mekanisme pasar terbentuk dalam pasar yang bentuknya perfect competition (persaingan sempurna).

Di Indonesia tidak ada kompetisi dalam hal penyediaan minyak, apalagi perfect competition. Maka, harga yang terbentuk dalam pasar yang bentuknya perfect competition di New York dengan volume perdagangan yang hanya 30 persen dari produksi minyak seluruhnya tidak relevan sama sekali buat rakyat Indonesia.

Yang lebih konyol lagi kalau dikatakan bahwa APBN jebol kalau harga BBM tidak dinaikkan, karena pemerintah tidak tahan menanggung subsidi yang demikian besarnya, yang disebabkan oleh membengkaknya harga minyak mentah internasional. (tabel)

Berapa pun harga internasional akan meningkat, pemerintah sebagai administrator rakyat tetap saja memperoleh surplus dari BBM. Jadi, walaupun BBM dijual dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga minyak internasional, selama masih di atas Rp 500 per liter, kelebihannya ini (dalam Tabel sebesar Rp 1.500 per liter) merupakan sumbangan dari BBM untuk dipakai membiayai pelayanan-pelayanan lain dari pemerintah kepada rakyatnya. Mengapa disebut APBN jebol karena harus memberi subsidi kepada pemakai BBM?

Kalau mau mempermasalahkan apakah harga jual bensin yang rata-rata (antara premium dan premix) Rp 2.000 per liter itu adil atau tidak, itu adalah urusan falsafah, urusan beleid, atau kebijakan. Bukan urusan merugi karena harus memberikan subsidi. Tidak ada subsidi. Sebaliknya, yang ada adalah surplus!

Pikiran kita dikacaukan oleh aliran pikiran fundamentalisme pasar. Kita berteriak-teriak APBN akan jebol karena mengira bahwa yang dinamakan subsidi BBM itu adalah real out of pocket money loss, padahal yang diartikan dengan subsidi adalah opportunity loss. Lihat Tabel. Kalau harga internasional melonjak sampai 100 dollar AS per barrel, kita tetap saja masih memperoleh surplus sebesar Rp 1.500 per liter.

Bagaimana dengan kondisi kita yang sudah menjadi importir neto minyak? Memang, tetapi volumenya tidak banyak. Untuk volume yang harus kita impor untuk menutup tekornya karena kebutuhan bangsa kita lebih besar sedikit dari total minyak produksi sendiri, kita memang harus membayar harga internasional sepenuhnya yang 50 dollar AS per barrel itu tadi. Akan tetapi, volumenya sangat sedikit.

Posisi kita sebagai importir neto juga tidak permanen, kadang-kadang masih sebagai eksportir neto juga. Lantas yang dibutuhkan untuk membayar volume impor neto itu dapat ditutup dengan mudah dari surplus yang Rp 1.500 per liter itu tadi. Apalagi kalau eksploitasi gas kita kebut, maka dengan hasil perolehan migas, lebih mudah lagi kita menutup bahan bakar minyak dan gas bumi yang kita butuhkan.

Jadi, adalah bohong sama sekali atau sangat tidak masuk akal bahwa kenaikan harga minyak di pasar internasional membuat keuangan Pemerintah RI jebol sehingga subsidi BBM harus dicabut. *
Kwik Kian Gie Menteri Perencana Pembangunan/Kepala Bappenas